Thursday, April 18, 2013

ILMU PERBANDINGAN AGAMA


A.  PENDAHULUAN
Ilmu agama sejak kemunculannya sebagai suatu disiplin keilmuan pada akhir abad ke-19, setahap demi setahap melengkapi identitas dirinya dengan ciri-ciri khas yang memperkuat dan memperjelas status sebagai pengetahuan ilmiah atau ilmu. Objek kajiannya yaitu meliputi  semua agama-agama, baik agama pada masa lalu maupun pada masa sekarang. Sedangkan teologi pada dasarnya hanya mengkaji satu agama tertentu saja, yaitu agama yang di yakini kebenarannya. Jika mempelajari agama lain itupun menggunakan norma agama yang di yakini kebenarannya.

NGAJI DULU

Tuesday, April 16, 2013

ISLAMISASI ILMU


A. Latar Belakang
Islam adalah agama yang haq hingga akhir masa. Islam agama yang komprehensif karena islam adalah tutunan dalam menjalani kehidupan ini, segala laku kita sudah tercantum tutunannya dalam al-Qurán dan al-Hadits jadi jika kita hidup dengan memegang tutunan itu maka layaknya seorang pengelana maka dia tidak akan tersesat karena dia mempunyai peta guna membuatnya sampai ketempat tujuan walaupun dalam menjalaninya ditempuh dengan susah payah.

Monday, April 15, 2013

AGAMA SHINTO


A.  PENDAHULUAN
Jepang terdiri atas empat pulau besar yaitu Hondo, Hokaido, Shikoku dan Kyusu beserta pulau kecil lainnya. Penduduk kepulauan itu sepanjang arkeologi dan antropologi, erat berkaitan dengan suku tunggus dan suku Korea berdasarkan pembuktian linguistic, sepanjang pembuktian etnografis dan mithologis terpadu kedalam unsur belahan selatan Tiongkok beserta unsur melayu dari asia tenggara dan unsur polinesia, pada masa sebelumnya unsur Ainu banyak mendominasi.

PENGERTIAN SOSIOLOGI AGAMA


1.      Pengertian Sosiologi
a.       Pengertian Sosiologi Secara Etimologi
Manusia selalu mengadakan hubungan ke mana pun dan di mana pun secara berulang, baik secara langsung maupun tidak langsung. Agar hubungan itu berjalan dengan baik, maka dalam berperilaku manusia senantiasa berpedoman pada nilai-nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat. Nilai dan norma yang dimiliki setiap masyarakat tidak sama. Dengan menyadari persamaan dan perbedaannya, serta keikutsertaan kita dalam hubungan sosial memberikan gambaran kepadamu tentang ilmu yang akan kita pelajari, yaitu sosiologi. [1]
Sebagai ilmu ia baru mulai dikenal pada abad ke-19 dengan nama yang berasal dari August Comte (1798-1857) untuk menunjukkan sosiologi sebagai ilmu masyarakat yang memilki disiplin yaitu rencana pelajaran dan penyelidikan serta lapangannya sendiri.  Sosiologi (Latin: socius= teman, kawan, sosial= berteman, bersama, berserikat) bermaksud untuk mengerti kejadian-kejadian dalam masyarakat yaitu persekutuan manusia, dan selanjutnya dengan pengertian itu untuk dapat berusaha mendatangkan perbaikan dalam kehidupan bersama.

SEJARAH PERKEMBANGAN SOSIOLOGI AGAMA

1.    Sejarah Munculnya Ilmu Sosiologi Agama
Kelahiran sosiologi, lazimnya dihubungkan dengan seorang ilmuwan Perancis bernama Auguste Comte (1798-1857), yang dengan kreatif telah menyusun sintesa berbagai macam aliran pemikiran, kemudian mengusulkan untuk mendirikan ilmu tentang masyarakat dengan dasar filsafat empiris yang kuat. Ilmu tentang masyarakat itu pada awalnya oleh Auguste Comte diberi nama “Social Physics” (fisika sosial), kemudian dirubahnya sendiri dengan “Sociology” karena istilah fisika sosial tersebut dalam waktu yang bersamaan digunakan oleh seorang ahli statistik sosial Belgia bernama Adophe Quetelet.[1]

PERKEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA


Pendidikan Islam di Kerajaan Demak
Sistem pelaksanaan pendidikan agama Islam di Demak yaitu dengan mendirikan masjid di tempat-tempat sentral di suatu daerah. Disana diajarkan pendidikan agama di bawah pimpinan seorang Badal untuk menjadi guru, yang menjadi pusat pendidikan dan pengajaran serta sumber agama Islam.
Kitab keluaran Demak adalah Usul 6 Bis, yaitu kitab yang berisi 6 kitab dengan 6 Bismillahirrahmanirrahim, karangan ulama Sarkandi, tentang dasar-dasar ilmu agama Islam. Kitab lainnya adalah Tafsir Jalalain, kitab jawa kuno yaitu Primbon, berisi catatan tentang ilmu-ilmu agama, macam-macam doa, obat-obatan, ilmu gaib, bahkan wejangan para wali. Selain itu, dikenal pula kitab-kitab yang dikenal dengan nama Suluk Sunan Bonang, Suluk Sunan Kalijaga, Wasita Jati Sunan Geseng dan lain-lain. Dimana seluruh kitab tersebut berbentuk diktat dan ditulis tangan.
Pendidikan dan Pengajaran Islam zaman Mataram
Beberapa tempat Pengajian Qur’an diadakan di desa-desa. Di sana diajarkan huruf hijaiyah, membaca al Qur’an, pokok-pokok dan dasar ilmu agama Islam. Cara mengajarkannya adalah dengan menghafal.
Pengajian Kitab dikhususkan pada murid-murid yang telah mengkhatamkan al Qur’an. Guru di Pengajian Kitab biasanya adalah modin terpandai di desa itu. Bisa juga modin dari desa lain yang memenuhi syarat, baik dari kepandaiaan maupun budi pekertinya. Guru-guru tersebut diberi gelar Kiyai Anom. Waktu belajar ialah pagi, siang, dan malam hari. Kitab-kitab yang diajarkan ditulis dalam bahasa arab lalu diterjemahkan ke dalam bahasa daerah. Pelajarannya antara lain Usul 6 Bis, kemudian matan Taqrib, dan Bidayatul Hidayah karya Imam Ghazali dalam ilmu akhlak. Pengajarannya dilakukan dengan sorongan. Di beberapa kabupaten, diadakan Pesantren Besar, lengkap dengan asrama atau pondok untuk melanjutkan pendidikan dari pesantren desa ke tingkatan tinggi. Gurunya bergelar Kiyai Sepuh atau Kanjeng Kiyai. Pesantren ini berperan sebagai lembaga pendidikan tingkat tinggi. Kitab-kitab yang diajarkan pada pesantren besar ialah kitab-kitab besar dalam bahasa arab, lalu diterjemahkan kata demi kata ke dalam bahasa daerah dan dilakukan secara halaqah. Bermacam-macam ilmu agama diajarkan disini, seperti: fiqh, tafsir, hadits, ilmu kalam, tasawuf, dan sebagainya. Selain pesantren besar, juga diselenggarakan semacam pesantren takhassus, yang mengajarkan satu cabang ilmu agama dengan cara mendalam atau spesialisasi.
Pendidikan pada masa belanda
Umat islam pada masa itu mengenal dua bentuk lembaga pendidikan yang dikelola umat islam dan yang dikelola colonial. System pendidikan yang dikelola Belanda adalah pendidikan modern liberal dan netral agama. Namun kenetralan Belanda ternyata tidak konsisten karena Belanda lebih melindungi Kristen dari pada islam. Karena mereka menganggap islam memiliki kekuatan politik yang membahayakan mereka. Maka islam senantiasa mengalami tekanan dan selalu diawasi gerak geriknya.
Pendidikan Islam pada masa Penjajah Jepang
Pada awalnya pemerintah jepang mengambil siasat merangkul umat islam sebagi mayoritas penduduk Indonesia. Sikap penjajah jepang terhadap pendidikan islam ternyata lebih lunak, sehingga ruang gerak pendidikan islam lebih bebas. Pesantren-pesantren yang besar sering mendapat kunjungan dan bantuan dari pembesar-pembesar jepang. Sekolah negeri diberi pelajaran budi pekerti yang isinya identik dengan ajaran agama. Pemerintah Jepang juga mengizinkan berdiirnya Sekolah Tinggi Islam di Jakarta yang dipimpin oleh KH. Wahid Hasyim, Kahar Muzakir, dan Bung Hatta.
Pendidikan islam di zaman jepang dapat bergerak lebih bebas bila dibandingkan dari zaman belanda. Pada masa penjajahan jepang atas usaha Muhmud Yunus di sumatera barat, dapat disetujui oleh kepala jawatan pengajaran jepang untuk memasukkan pendidikan agama islam ke sekolah-sekolah pemerintah, mulai sekolah dasar.
Pendidikan Islam Masa Orde Lama (Zaman Kemerdekaan)
Setelah Indonesia merdeka, penyelesaian pendidikan agama mendapat perhatian serius dari pemerintah, baik di sekolah negeri maupun swasta. Usaha untuk itu dimulai dengan memberikan bantuan terhadap lembaga tersebut sebagaimana yang dianjurkan oleh Badan Pekerja Komite Nasional Pusat (BPKNP) tanggal 27 Desember 1945, yang menyebutkan bahwa :
Madrasah dan pesantren yang pada hakikatnya adalah satu alat dan sumber pendidikan dan pencerdasan rakyat jelata yang tidak berurat akar dalam masyarakat Indonesia pada umumnya, hendaklah pula mendapat perhatian dan bantuan nyata berupa tuntunan dan bantuan material dari pemerintah.
Pendidikan Islam Pada Masa Orde Baru
Pendidikan pada hakikatnya adalah usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah berlangsung seumur hidup. Oleh karenanya agar pendidikan dapat dimiliki oleh sebuah rakyat sesuai dengan kemampuan masing-masing individu.
Menurut UU Nomor 2 tahun 1989 tersebut, pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dan berbudi pekerti luhur, memiliki ketrampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Beberapa prinsip yang perlu diperhatikan dari undang-undang Sistem Pendidikan Nasional ini, mengusahakan :
1.      Membentuk manusia Pancasila sebagai manusia pembangunan yang tinggi kualitasnya yang mampu mandiri.
2.      Pemberian dukungan bagi perkembangan masyarakat, bangsa dan negara Indonesia yang terwujud dalam ketahanan nasional yang tangguh.
Sistem Pendidikan Pada masa Orde Lama dan Baru
Terjadi semacam dualisme pendidikan di Indonesia, yaitu pendidikan agama dan pendidikan umum. Di satu pihak Departemen Agama mengelola semua jenis pendidikan agama baik di sekolah-sekolah agama maupun di sekolah-sekolah umum.
Program pendidikan kementrian agama sebagai berikut :
1.      Pesantren klasik, semacam sekolah swasta keagamaan yang menyediakan asrama, yang sejauh mungkin memberikan pendidikan yang bersifat pribadi, sebelumnya terbatas pada pengajaran keagamaan serta pelaksanaan ibadah.
2.      Madrasah diniyah, yaitu sekolah-sekolah yang memberikan pengajaran tambahan bagi murid sekolah negeri yang berusia 7 sampai 20 tahun.
3.      Madrasah-madrasah swasta, yaitu pesantren yang dikelola secara modern.
4.      Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN), yaitu sekolah dasar negeri enam tahun, di mana perbandingan umum kira-kira 1:2.
5.      Suatu percobaan baru telah ditambahkan pada Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) 6 tahun, dengan menambahkan kursus selama 2 tahun, yang memberikan latihan ketrampilan sederhana.
6.      Pendidikan teologi agama tertinggi. Pada tingkat universitas diberikan sejak tahun 1960 pada IAIN. IAIN ini dimulai dengan dua bagian / dua fakultas di Yogyakarta dan dua fakultas di Jakarta.
Pendidikan Islam Pada Masa Reformasi
Lembaga pendidikan Islam adalah lembaga pendidikan Islam memiliki potensi yang sangat besar bagi jalannya pembangunan di negeri ini terlepas dari berbagai anggapan tentang pendidikan yang ada sekarang, harus diingat bahwa pendidikan Islam di Indonesia telah banyak melahirkan putera puteri bangsa yang berkualitas.
Dakwah islam / Pendidikan walisongo
Metode yang digunakan oleh Walisongo dalam berdakwah ada tiga macam, yaitu:
1.      Al-Hikmah (kebijaksanaan) : Al-Hikmah merupakan kemampuan dan ketepatan da’i dalam memilih, memilah dan menyelaraskan teknik dakwah dengan kondisi objektif mad’u (objek dakwah). Sebagaimana yang dilakukan oleh Sunan Gudus.
2.      Al-Mau’izhah Al-Hasanah (nasihat yang baik) : memberi nasihat dengan kata-kata yang masuk ke dalam kalbu dengan penuh kasih sayang dan ke dalam perasaan dengan penuh kelembutan; tidak membongkar atau membeberkan kesalahan orang lain sebab kelemah-lembutan dalam menasehati seringkali dapat meluluh hati yang keras dan menjinakkan kalbu yang liar, ia lebih mudah melahirkan kebaikan daripada larangan dan ancaman. Inilah yang dilakukan oleh para wali.
3.      Al-Mujadalah Billati Hiya Ahsan (berbantah-bantah dengan jalan sebaik-baiknya) : tukar pendapat yang dilakukan oleh dua pihak secara sinergis, yang tidak melahirkan permusuhan dengan tujuan agar lawan menerima pendapat yang diajukan dengan memberikan argumentasi dan bukti yang kuat. Antara satu dengan lainnya saling menghargai dan menghormati pendapat keduanya berpegang kepada kebenaran, mengakui kebenaran pihak lain dan ikhlas menerima hukuman kebenaran tersebut. sebagaimana dakwah Sunan Ampel kepada Adipati Aria Damar dan Sunan Kalijaga kepada Adipati Pandanarang.

TAREKAT MUKTABAROH QODIRIYAH WA NAQSYABANDIYAH ASAL-USUL DAN AJARANNYA


PENDAHULUAN
Menurut Harun Nasution, tarekat adalah jalan yang harus ditempuh seorang murid agar berada sedekat mungkin dengan Tuhan di bawah bimbingan seorang guru Mursyid. Tarekat mencoba memberi rasa aman dan kesejahteraan di kehidupan akhirat kepada para pengikutnya, setelah mereka merasa bahwa kehidupan mereka di dunia sudah mendekati akhir. Di samping itu tarekat berusaha membuka pintu Surga bagi publik. Tarekat adalah jalan untuk memastikan kesamaan peluang untuk masuk Surga bagi semua lapisan masyarakat, baik yang alim, awam, kaya atau pun miskin.

JUAL BELI (AL-BUYU’)



A.  Pendahuluan
Islam merupakan agama yang diturunkan oleh Allah Swt sebagai agama yang membawa rahmat kepada seluruh alam juga sangat menyoroti mengenai hal-hal yang berkaitan dengan jual beli. Dalam Islam jual beli juga dibahas secara mendetail karena pada hakekatnya Islam bukan hanya agama yang mementingkan aspek ibadah saja melainkan juga sangat menekankan aspek sosial (muamalah).
Jual beli (Al-Buyu’) merupakan suatu kegiatan tukar menukar barang dengan barang lain dengan cara tertentu. Termasuk dalam hal ini adalah jasa dan juga penggunaan alat tukar seperti uang. Jual beli ini dilakukan dengan memindahkan hak milik kepada orang lain dengan harga, sedangkan membeli yaitu menerimanya.
Dalam makalah ini kami akan membahas hal-hal yang berkaitan dengan jual beli dalam Islam. Dimulai dari pengertian jual beli itu sendiri baik secara bahasa maupun secara istilah. Kemudian dipaparkan tentang rukun dan syarat-syarat sahnya jual beli. Pembahasan selanjutnya mengulas tentang macam-macam jual beli baik yang dilarang maupun yang diperbolehkan.

B.  Substansi Kajian
1. Pengertian Jual Beli
Definisi jual-beli menurut Drs. H. Ahmad Wardi Muslich, jual-beli menurut etimologi berarti:
مُقَا بَلَةٌ شَيْئٍ بِشَيْئٍ
Tukar menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain[1]
Sayyid Sabiq Mengartikan Jual beli menurut bahasa sebagai berikut.
اَلْبَيْعُ مَعْنَاهُ لُغَةً مُطْلَقُ الْمُبَادَلَةُ
Pengertian jual beli menurut bahasa adalah tukar-menukar secara mutlak.[2]
Bai’ secara istilah adalah pemindahan hak milik kepada orang lain dengan imbalan harga. Sedangkan syira’ pembelian ialah penerimaan barang yang dijual (dengan menyerahkan harganya kepada si penjual).[3] Dan seringkali masing-masing dari kedua kata tersebut diartikan jual beli. Atau juga yang dimaksud ialah tukar-menukar harta secara suka sama suka, atau memindahkan milik dengan mendapat tukar menurut cara yang diizinkan agama.[4]
Abu Bakar Ad-Dimyati Al-Mishriy dalam kitabnya menyebutkan pengertian jual beli menurut Syara’ yaitu.

مقا بلة مال بمال على وجه مخصو ص
Tukar-menukar harta dengan harta dengan syarat-sayrat yang telah ditentukan.[5]
Dalam pengertian istilah syara’, terdapat beberapa definisi yang dikemukakan oleh ulama’ madzhab:
a)    Hanafiah. Jual beli adalah menukar benda dengan dua mata unag (emas dan perak) dan semacamnya atau tukar menukar barang dengan uang atau semacamnya menurut cara yang khusus.
b)   Malikiyah. Jual beli adalah akad mu’awadloh (timbale balik) atas selain manfaat dan bukan pula untuk menikmati kesenangan.
c)    Syafi’iyah. Suatu akad yang mengandung tukar-menukar harta dengan harta dengan syarat yang akan diuraikan nanti untuk memperoleh kepemilikan atas benda atau manfaat untuk waktu selamanya.
d)   Hanabillah. Jual beli adalah tukar menukar harta dengan harta, atau tukar menukar manfaat yang mubah dengan manfaat yang mubah untuk waktu selamanya, bukan riba’ dan bukan utang.[6]
Jadi Buyu’ adalah suatu akad tukar menukar barang dengan syarat-syarat yang telah ditentukan.

2. Dasar Hukum Jual-beli
Jual beli merupak akad yang dibolehkan berdasarkan al-Qur’an, sunnah dan ijma’ para ulama’. Dilihat dari aspek hukum, jual beli hukumnya mubah, kecuali jual beli yang dilarang oleh syara’, adapun dasar hukum diperbolehkannya jual beli adalah sebgai Berikut.
y¨@ymr&ur ª!$# yìøt7ø9$# tP§ymur (#4qt/Ìh9$#

Allah Telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (Q.S. Al- Baqarah:275).

 (#ÿrßÎgô©r&ur #sŒÎ) óOçF÷ètƒ$t6s? 4 Ÿwur §!$ŸÒムÒ=Ï?%x. Ÿwur ÓÎgx© 4 bÎ)ur (#qè=yèøÿs? ¼çm¯RÎ*sù 8-qÝ¡èù öNà6Î/ 3 (#qà)¨?$#ur ©!$# ( ãNà6ßJÏk=yèãƒur ª!$# 3 ª!$#ur Èe@à6Î/ >äóÓx« ÒOŠÎ=tæ ÇËÑËÈ

Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. jika kamu lakukan (yang demikian), Maka Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.(Q.S. Al-Baqarah:282)

$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#þqè=à2ù's? Nä3s9ºuqøBr& Mà6oY÷t/ È@ÏÜ»t6ø9$$Î/ HwÎ) br& šcqä3s? ¸ot»pgÏB `tã <Ú#ts? öNä3ZÏiB 4 Ÿwur (#þqè=çFø)s? öNä3|¡àÿRr& 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. öNä3Î/ $VJŠÏmu ÇËÒÈ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.(Q.S. An-Nisa’: 29)
عَنْ رِفَاعَةَ بْنِ رَافِعٍ أَنَّ اَلنَّبِيَّ  صلى الله عليه وسلم  سُئِلَ: أَيُّ اَلْكَسْبِ أَطْيَبُ؟ قَالَ: عَمَلُ اَلرَّجُلِ بِيَدِهِ, وَكُلُّ بَيْعٍ مَبْرُورٍ (رَوَاهُ اَلْبَزَّارُ، وَصَحَّحَهُ اَلْحَاكِم
Dari Rifa’ah Ibnu Rafi’ r.a. bahwa Rasulullah saw. pernah ditanya: Pekerjaan apakah yang paling baik?. Beliau bersabda: “Pekerjaan seseorang dengan tangannya dan setiap jual-beli yang bersih”. (HR Al-Bazzar dan dishahihkan oleh al-Hakim).[7]
Hadits yang diriwayatkan oleh Hakim bahwa Rasulullah ditanya, “Usaha apakah yang paling baik?” Beliau menjawab, “Pekerjaan seseorang dengan tangannya dan setiap perdagangan yang baik”.[8]
Perdagangan yang baik adalah perdagangan yang tidak mengandung penipuan dan pengkhianatan.
Dari ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits yang dikemukakan di atas dapat dipahami bahwa jual beli merupakan pekerjaan yang halal dan mulia. Apabila pelakunya jujur, maka kedudukannya di akhirat nanti setara dengan para Nabi, Syuhada’, dan Syiddiqiin.

3. Rukun Jual Beli
Menurut jumhur ulama’ rukun jual beli itu ada empat, yaitu: Penjual, pembeli, shighat, dan ma’qud ‘alaih (objek akad).[9]
Abdur Rahman Al-Jaziri dalam kitabnya menyebutkan rukun jual beli ada 6.

اركا ن البيع ستة : صيغة, وعاقد, ومعقود عليه, وكل منها قسمان : لأن القاعد إما أن يكون بائعا أو مشتريا, و المعقود عليه إما أن يكون ثمنا أو مثمنا, و الصيغة إما أن يكون إيجابا أو قبولا.
Rukun Jual Beli ada 6: Shighat, ‘Aqid, dan Ma’qud ‘Alaih, dan setiap darinya dua bagian: karena pada ‘Aqid yaitu Penjual atau pembeli, dan ma’qud ‘alaih yaitu uang untuk membeli atau barang yang dibeli, dan shighat yaitu ijab dan qabul.[10]
Dari pernyataan diatas dapat di fahami bahwasanya rukun jual beli secara umum ada 3 yaitu Shighat, ‘Aqid dan Ma’qud ‘Alaih tetapi dalam hakikatnya rukun jual beli ada 6 karena setiap rukun yang tiga diatas terkandung dua bagian.
a)   Ijab dan Qobul
1)   Pengertian Ijab dan Qobul
Pengertian Ijab menurut Hanafiyah adalah menetapkan perbuatan yang khusus yang menunjukkan kerelaan, yang timbul pertama dari salah satu pihak yang melakukan akad. Sedangkan qabul adalah pernyataan yang disebutkan kedua dari pembicaraan salah satu pihak yang melakukan akad.
Menurut Abi Yahya Zakariya Al-Anshori, Ijab adalah:

إيجاب وهو ما يدل على التمليك السابق دلالة ظاهرة
Sesuatu yang menunjukkan atas pemberian kepemilikan dengan ungkapan yang jelas.

Sedang Qabul adalah:

قبول وهو ما يدل على التملك السابق كذلك
Qabul adalah sesuatu yang menunjukkan atas penerimaan dengan ungkapan yang jelas.[11]
2)   Shighat Ijab dan Qabul
Shighat akad adalah bentuk ungkapan dari ijab dan qabul apabila akadnya akad iltizam yang dilakukan oleh dua pihak, atau ijab saja apabila akadnya akad iltizam yang dilakukan oleh satu pihak.
Menurut Hanafiah, akad jual beli hukumnya sah dengan menggunakan shighat fi’il madhi, seperti:  بِعْتُ (saya jual), danإِشْتَرَيْتُ   (saya beli), dan dengan shighat sekarang (mudhari’) disertai dengan niat, seperti أَبِيْعُ (akan saya jual), dan أَشْتَرِي (akan saya beli).[12]
Menurut Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah, baik akad jual beli maupun akad nikah, hukunya sah dengan menggunakan lafal Istid’a’ (amar atau Istifham). Karena yang terpenting dalam akad jual beli itu adalah kerelaan.[13] Hal ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh ibnu majah dari Abi Sa’id Rasulullah SAW Bersabda:

إِنَّمَا الْبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ
Sesungguhnya jual beli itu harus atas dasar kerelaan.[14]

Jadi para ulama telah sepakad bahwa landasan untuk terwujudnya suatu akad adalah timbulnya sikap yang menunjukkan kerelaan atau persetujuan kedua belah pihak untuk merealisasikan kewajiban diantara mereka, yang oleh para ulama disebut shighat akad.
3)   Sifat Ijab dan Qabul
Menurut Hanafiah, Malikiyah, dan tujuh fuqaha Madinah dari kalangan tabi’in, akan langsung mengikat begitu ijab dan qabul selesai dinyatakan. Hal tersebut dikarenakan akad jual beli merupakan akad mu’awadhah, yang langsung mengikad kedua pihak yang melakukan akad menyatakan ijab dan qabul-nya, tanpa memerlukan khiar majelis.
Menurut syafi’iyah, Hanabilah, Sufyan Ats-Tsauri dan Ishak, apabila akad telah terjadi dengan bertemunya ijab dan qabul, maka akad menjadi jaiz (boleh), yakni tidak mengikat selama para pihak masih berada di majelis akad. Masing-masing pihak boleh melakukan khiar (memilih) antara membatalkan jual beli atau meneruskannya, selama keduanya masih berkumpul dan belum berpisah.[15]
Hal ini sesuai dengan hadits Nabi SAW dari Abdullah Ibnu Al-Harits dari Hakim Ibnu Hizam Bahwa nabi Bersabda:

البَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا, فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُوْرِكَ لَهُمَا فَي بَيْعِهِمَا, وَإِنْ كَتَمَا وَكَذَبَا مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا
     Penjual dan pembeli boleh melakukan khiyar selagi keduanya belum berpisah. Apabila keduanya benar (jujur) dan jelas maka keduanya diberi keberkahan dalam jual beli mereka. Tetapi apabila mereka berdua berbohong dan merahasiakan maka akan dihapus keberkahan jual beli mereka berdua.(HR. Bukhari dan muslim).[16]
Yang dimaksud “berpisah” dalam hadits diatas yaitu berpisah secara fisik (badan), bukan berpisah dengan ucapan misal karena banyaknya pembeli sehingga harus melayani yang lainnya.
b)   ‘Aqid (Penjual dan Pembeli)
Rukun jual beli yang kedua adalah ‘aqid atau orang yang melakukan akad, yaitu penjual (بَائِعْ) dan pembeli. Secara umum, penjual (مُشْتَرِي) dan pembeli harus orang yang memiliki ahliyah (kecakapan) dan wilayah (kekuasaan).[17]
Adapun syarat-syarat antara penjual dan pembeli adalah:
1)   Berakal, Tidak sah jual beli orang gila.
2)   Dengan kehendak sendiri; Tidak sah jual beli orang yang dipaksa dengan tidak benar.
3)   Keadaannya tidak mubadzir (pemborosan) karena harta orang yang mubazzir (pemborosan/bodoh) itu ditangan walinya.
4)   Baligh, tidak sah jual beli anak-anak.[18]
c)    Ma’qud ‘Alaih (Objek Akad Jual Beli)
Ma’qud ‘alaih atau objek akad jual beli adalah barang yang dijual (mabi’) dan harga atau uang (tsaman).

4. Syarat-Syarat Jual Beli
Ada empat syarat yang harus dipenuhi dalam akad jual beli, yaitu :
a)   Syarat in’iqad (terjadinya akad)
Syarat in’iqad adalah syarat harus terpenuhi agar akad jual beli dipandang sah menurut syara’. Apabila syarat ini tidak dipenuhi, maka akad jual beli menjadi batal. Hanafiah mengemukakan empat macam syarat untuk keabsahan jual beli:
1)   Syarat berkaitan dengan ‘aqid (orang yang melakukan akad)
Syarat untuk ‘aqid yaitu penjual dan pembeli ada dua :
· ‘Aqid harus berakal yakni mumayyiz. Maka tidak sah akad yang dilakukan oleh orang gila, dan anak yang belum berakal (belum mumayyiz).
· ‘Aqid (orang yang melakukan akad) harus berbilang (tidak sendirian). Dengan demikian, akad yang dilakukan oleh satu orang yang mewakili dua pihak hukumnya tidak sah, kecuali apabila dilakukan oleh ayang yang membeli barang dari anaknya yang masih di bawah umur dengan harga pasaran.hal ini oleh karena dalam jual beli terdapat dua hak yang berlawanan, yaitu menerima dan menyerahkan.

2)   Syarat berkaitan dengan akad (ijab dan qabul)
Syarat akad yang sangat penting adalah bahwa qabul harus sesuai dengan ijab, dalam arti pembeli menerima apa yang di-ijabkan (dinyatakan) oleh penjual. Apabila terjadi perbedaan antara ijab dan qabul, misalnya pembeli menerima barang yang tidak sesuai dengan yang dinyatakan oleh penjual, maka akad jual beli tidak sah.[19]
3)   Syarat berkaitan dengan tempat akad
Ijab dan qabul harus terjadi dalam satu majelis. Apabila ijab dan qabul berbeda majelisnya, maka akad jual beli tidak sah.
4)   Syarat yang berkaitan dengan objek akad (ma’qud ‘alaih)
Syarat yang dipenuhi oleh objek akad (ma’qud ‘alaih) adalah :
·  Barang yang dijual harus maujud (ada). Oleh karena itu, tidak sah jual beli barang yang tidak ada (ma’dum) atau dikhawatirkan tidak ada. Seperti jual beli anak unta yang masih dalam kandungan, atau jual beli buahbuahan yang belum tampak.
·  Barang yang dijual harus mal mutaqawwim yaitu barang yang bisa dikuasai secara lansung dan boleh diambil manfaatnya dalam keadaan ikhtiyar. Dengan demikian, tidak sah jual beli mal yang ghair mutaqawwim, seperti babi, darah, dan bangkai.
·  Barang yang dijual harus barang yang sudah dimiliki. Dengan demikian, tidak sah menjual barang yang belum dimiliki oleh seseorang, seperti rumput meskipun tumbuh di tanah milik perseorangan dan kayu bakar.
·  Barang yang dijual harus bisa diserahkan pada saat dilakukannya akad jual beli. Dengan demikian, tidak sah menjual barang yang tidak bisa diserahkan, walaupun barang tersebut milik si penjual, seperti kerbau yang hilang, burung di udara, dan ikan di laut.[20]
b)   Syarat sah akad jual beli
Syarat sah ini terbagi kepada dua bagian, yaitu syarat umum dan syarat khusus. Syarat umum adalah syarat yang harus ada pada setiap jenis jual beli agar jual beli tersebut dianggap sah menurut syara’. Secara global akad jual beli harus terhindar dari enam macam ‘aib yaitu: Ketidakjelasan (jahalah), pamaksaan (al-ikrah), pembatasan dengan waktu (at-tauqit), penipuan (gharar), pemudaratan (dharar), syarat-syarat yang merusak.[21]
1)   Ketidakjelasan (Al-Jahalah)
Yang dimaksud disini adalah ketidakjelasan yang serius yang mendatangkan perselisihan yang sulit untuk diselesaikan. Ketidakjelasan ini ada empat macam, yaitu:
· Ketidakjelasan dalam barang yang dijual, baik jenisnya, macamnya, atau kadarnya menurut pandangan pembeli.
· Ketidakjelasan harga
· Ketidakjelasan masa (tempo), seperti dalam harga yang diangsur, atau dalam khiyar syarat. Dalam hal ini waktu harus jelas, apabila tidak jelas maka akad menjadi batal.
Ketidakjelasan dalam langkah-langkah penjaminan. Misalnya penjual mensyaratkan diajukannya seorang kafil (penjamin). Dalam hal ini pennjamin tersebut harus jelas. Apabila tidak jelas maka akad jual menjadi batal.[22]
2)   Pemaksaan (Al-Ikrah)
Pengertian pemaksaan adalah mendorong orang lain (yang dipaksa) untuk melakukan suatu perbuatan yang tidak disukainya. Paksaan ini ada dua macam:
· Paksaan absolut, yaitu paksaan dengan ancaman yang sangat berat, seperti akan dibunuh, atau dipotong anggota badannya.
· Paksaan relatif, yaitu paksaan dengan ancaman yang lebih ringan, seperti dipukul.
Kedua ancama tersebut mempunyai pengaruh terhadap jual beli, yakni menjadikannya jual beli yang fasid menurut jumhur Hanafiah, dan mauquf menurut Zufar.[23]
3)   Pembatasan dengan waktu (At-Tauqit)
Yaitu jual beli dengan dibatasi waktunya. Seperti: “Saya jual baju ini kepadamu untuk selama satu bulan atau satu tahun”. Jual beli semacam ini hukumnya fasid, karena kepemilikan atas suatu barang, tidak bisa dibatasi waktunya.[24]
4)   Penipuan (Al-Gharar)
Yang dimaksud disini adalah gharar (penipuan) dalam sifat barang. Gharar adalah sesuatu yang tidak diketahui akibatnya, dari sisi ada dan tidak ada.[25] Seperti: seseorang menjual sapi dengan pernyataan bahwa sapi itu air susunya sehari sepuluh liter, padahal kenyataannya paling banyak dua liter. Akan tetapi, apabila ia menjualnya dengan pernyataan bahwa air susunya lumayan banyak tanpa menyebutkan kadarnya maka termasuk syarat yang shahih. Akan tetapi, apabila gharar (penipuan) pada wujud (adanya) barang maka ini membatalkan jual beli.[26]
5)   Kemudaratan (Ad-Dharar)
Kemudaratan ini terjadi apabila penyerahan barang yang dijual tidak mungkin dilakukan kecuali dengan memasukkan kemudaratan kepada penjual, dalam barang selain objek akad. Seperti seseorang menjual baju (kain) satu meter, yang tidak bisa dibagi dua. Dalam pelaksanaannya terpaksa baju (kain) tersebut dipotong, walaupun hal itu merugikan penjual.
Dikarenakan kerusakan ini untuk menjaga hak perorangan, bukan hak syara’ maka para fuqaha menetapkan, apabila penjual melaksanakan kemudaratan atas dirinya, dengan cara memotong baju (kain) dan menyerahkannya kepada pembeli maka akad berubah menjadi shahih.[27]
6)   Syarat-syarat yang merusak
Yaitu setiap syarat yang ada manfaatnya bagi salah satu pihak yang bertransaksi, tetapi syarat tersebut tidak ada dalam syara’ dan adat kebiasaan, atau tidak dikehendaki oleh akad, atau tidak selaras dengan tujuan akad. Seperti seseorang menjual mobil dengan syarat ia (penjual) akan menggunakannya selama satu bulan setelah terjadinya akad jual beli, atau seseorang menjual rumah dengan syarat ia (penjual) boleh tinggal di rumah itu selama masa tertentu setelah terjadinya akad jual beli.
Syarat yang fasid apabila terdapat dalam akad mu’awadhah maliyah, seperti jual beli, atau ijarah, akan menyebabkan akadnya fasid, tetapi tidak dalam akad-akad yang lain, seperti akad tabarru’ (hibah dan wasiat) dan akad nikah. Dalam akad ini syarat yang fasid tersebut tidak berpengaruh sehingga akadnya tetap sah.
Adapun syarat-syarat khusus yang berlaku untuk beberapa jenis jual beli adalah sebagai berikut:
·  Barang harus diterima. Dalam jual beli benda bergerak (manqulat), untuk keabsahannya disyaratkan barang harus diterima dari penjual yang pertama, karena sering terjadi barang bergerak itu sebelum diterima sudah rusak terlebih dahulu, sehingga oleh karenanya dalam penjualan yang kedua terjadi gharar (penipuan) sebelum barang diterima. Untuk benda-benda tetap (aqar) menurut Abu Hanifah dan Abu Yusuf boleh dijual sebelum barang diterima.
·  Mengetahui harga pertama apabila jual belinya berbentuk murabahah, tauliyah, wadhiah, atau isyrak.
·  Saling menerima (taqabudh) penukaran, sebelum berpisah, apabila jual belinya jual beli sharf (uang).
·  Dipenuhinya syarat-syarat salam, apabila jual belinya jual beli salam (pesanan).
·  Harus sama dalam penukaran, apabila barangnya barang ribawi.
·  Harus diterima dalam utang piutang yang ada dalam perjanjian, seperti muslam fih dan modal salam, dan menjual sesuatu dengan utang kepada selain penjual.[28]
c)    Syarat Kelangsungan Jual Beli (Syarat Nafadz)
Untuk kelangsungan jual beli diperlukan dua syarat sebagai berikut:
1)   Kepemilikan atau Kekuasaan
Pengertian kepemilikan atau hak milik sebagaimana telah dijelaskan dalam uraian yang lalu adalah menguasai sesuatu dan mampu men-tasarruf-kannya sendiri, karena tidak ada penghalang yang di tetapkan oleh syara’. Sedangkan wilayah atau kekuasaan adalah kewenangan yang diberikan oleh syara’ sehingga dengan adanya kewenangan itu maka akad yang dilakukannya hukumnya sah dan dapat dilangsungkan.
2)   Pada benda yang dijual (mabi’) tidak terdapat hak orang lain. Apabila di dalam barang yang dijadikan objek jual beli itu terdapat hak orang lain, maka akadnya mauquf dan tidak bisa dilangsungkan. Oleh karena itu, tidak nafidz (dilangsungkan) jual beli yang dilakukan oleh orang yang menggadaikan terhadap barang yang sedang digadaikan, dan juga oleh orang yang menyewakan terhadap rumah yang sedang disewakan, melainkan jual belinya mauquf menunggu persetujuan murtahin (penggadai), dan musta’jir (penyewa).
Dilihat dari segi syarat nafadz ini, jual beli dapat dibagi menjadi dua yaitu (a) Jual beli nafidz (bisa dilangsungkan), yaitu jual beli yang rukunnya syarat in’iqad dan syarat nafadz-nya terpenuhi. (b) jual beli mauquf (ditangguhkan), yaitu jual beli yang rukunnya dan syarat in’iqad-nya terpenuhi, tetapi syarat nafadz-nya tidak terpenuhi.
d)   Syarat Mengikatnya Jual Beli (Syarat Luzum)
Untuk mengikatnya (luzum-nya) jual beli disyaratkan akad jual beli terbebas dari salah satu jenis khiyar yang membolehkan kepada salah satu pihak untuk membatalkan akad jual beli, seperti khiyar syarat, khiyar ru’yah, dan khiyar ‘aib. Apabila did ala akad jual beli terdapat salah satu dari jenis khiar ini maka akad tersebut tidak mengikat kepada orang yang memiliki hak khiyar, sehingga ia berhak membatalkan jual beli atau meneruskan atau menerimanya. Ada beberapa pendapat tentang syarat yang harus dipenuhi dalam akad jual beli :
1) Menurut Hanafiah terdapat 23 syarat:
(a)        ‘Aqid (orang yang melakukan akad) harus berakal dan mumayyiz.
(b)       ‘Aqid harus berbilang.
(c)        Para pihak yang melakukan jual beli harus mendengar pembicaraan pihak lain.
(d)       Ijab dan qabul harus sesuai.
(e)        Ijab dan qabul harus dinyatakan dalan satu majelis.
(f)        Objek akad jual beli (mabi’) harus berupa harta (mal).
(g)       Objek akad (mabi’) harus berupa mal mutaqawwim.
(h)       Objek akad harus dimiliki oleh si penjual.
(i)         Objek akad harus ada (maujud) pada waktu akad dilaksanakan.
(j)         Objek akad harus bisa diserahkan pada waktu dilaksanakannya akad.
(k)       Imbalan (harga) harus mal mutaqawwim.
(l)         Objek akad dan harga harus diketahui.
(m)   Jual beli tidak boleh dibatasi dengan waktu.
(n)       Jual beli harus ada ,manfaat dan faedahnya bagi kedua belah pihak.
(o)       Jual beli harus terhindar dari syarat yang merusak.
(p)       Dalam jual beli benda bergerak, benda harus diserahkan.
(q)       Harga pertama harus diketahui.
(r)         Harus saling menerima dan harus sama dalam jual beli benda ribawiyah.
(s)        Terpenuhinya syarat salam dalam jual beli salam.
(t)         Dalam jual beli utang kepada selain mudin (orang yang berpiutang), salah satu penukaran bukan utang.
(u)       Barang yang dijual merupakan hak milik si penjual.
(v)       Di dalam barang yang dijual tidak ada hak orang lain.
(w)   Di dalam akad jual beli tidak ada syarat khiyar.[29]
2) Menurut Malikiyah terdapat 11 syarat
(a)        Penjual dan pembeli harus mumayyiz.
(b)       Penjual dan pembeli harus menjadi pemilik atas barang, atau wakil dari pemilik.
(c)        Penjual dan pembeli harus orang yang memiliki kebebasan (mukhtar).
(d)       Penjual harus cerdas (rasyid) dalam mengelola hartanya.
(e)        Ijab dan qabul harus bersatu dalam satu majelis.
(f)        Ijab dan qabul tidak boleh berpisah.
(g)       Mabi’ dan tsaman (harga) harus benda yang tidak dilarang oleh syara’.
(h)       Benda yang dijual harus suci.
(i)         Benda harus bermanfaat menurut syara’
(j)         Benda yang menjadi objek akad harus diketahui, tidak majhul.
(k)       Benda yang menjadi objek akas harus bisa diserahkan.[30]
3) Menurut Syafi’iyah terdapat 22 syarat
(a)        ‘Aqid harus memiliki sifat ar-rusyd (cerdas), yakni baligh dan berakal.
(b)       Tidak ada paksaan tanpa hak.
(c)        Islamnya pembeli dalam pembelian mushhaf dan sebagainya, seperti hadis, fiqh, dan lain-lain.
(d)       Pembeli bukan kafir harbi dalam pembelian alat perlengkapan perang yang digunakan untuk memerang kaum muslimin.
(e)        Para pihak mengungkapkan khithab-nya kepada temannya, bukan ditunjukan kepada orang lain, seperti (saya jual kepadamu).
(f)        Khithab menggunakan jumlah (kalimat) mukhathab.
(g)       Qabul di ucapkan oleh orang yang langsung mendengar ijab.
(h)       Orang yang memulai pembicaraan hendaknya menyebutkan harga dan barang.
(i)         Penjual dan pembeli menghendaki dengan sungguh-sungguh arti kata-kata yang diucapkan.
(j)         Kecakapan (ahliyah) penjua dan pembeli harus tetap ada sampai selesainya qabul.
(k)       Antara ijab dan qabul tidak boleh terpisah dengan waktu yang lama.
(l)         Ijab dan qabul tidak boleh diselingi dengan pembicaraan dengan orang lain.
(m)   Orang yang mengatakan ijab tidak boleh mengubah pembicaraannya sebelum pihak lain menyatakan qabul.
(n)       Para pihak yang melakukan akad jual beli harus mendengarkan ucapan pihak lainnya.
(o)       Ijab dan qabul harus benar-benar sesuai dan tidak boleh berbeda.
(p)       Sighat ijab dan qabul tidak boleh dikaitkan dengan sesuatu yang tidak dikehendaki oleh akad.
(q)       Akad jual beli tidak boleh dibatasi dengan waktu.
(r)         Ma’qud ‘alaih (objek akad) harus suci.
(s)        Objek akad harus bermanfaat menurut syara’
(t)         Objek akad harus barang yang bisa diserahkan.
(u)       Objek akad harus dimiliki oleh ‘aqid, atau ia memperoleh kekuasaan (wilayah).
(v)       Ma’qud ‘alaih harus diketahui oleh para pihak yang melakukan akad, baik bendanya, kadarnya, maupun sifatnya.
4) Menurut Hanabilah terdapat 11 syarat
(a)        ‘Aqid harus memiliki sifat ar-rusyd (cerdas) dalam mengelola harta kekayaan kecuali dalam urusan kecil. Akan tetapi, untuk mumayyiz dan safih apabila ada ijin wali dan untuk kemaslahatan maka akad jual belinya sah.
(b)       Adanya persetujuan (kerelaan) dari pihak yang melakukan akad, dan ikhtiyar (kebebasan), atau tidak ada paksaan kecuali dengan hak.
(c)        Ijab dan qabul harus menyatu dalam satu majelis.
(d)       Ijab dan qabul tidak boleh terpisah.
(e)        Akad tidak boleh dibatasi dengan waktu, dan tidak digantungkan dengan selain kehendak Allah.
(f)        Objek akad harus berupa mal (harta).
(g)       Objek akad harus dimiliki oleh penjual dengan milik yang sempurna.
(h)       Objek akad harus bisa diserahkan pada waktu akad.
(i)         Objek akad harus diketahui baik oleh penjual maupun pembeli.
(j)         Harga juga harus diketahui oleh para pihak yang melakukan akad, baik pada waktu akad, maupun sebelumnya.
(k)       Baik harga barang, maupun orang yang melakukan akad harus terhindar dari hal-hal yang menghalangi keabsahan akad, seperti riba, atau syarat yang tidak selaras dengan tujuan akad dan sebagainya.
Dari uraian tersebut dapat diketahui persamaan dan perbedaan antara keempat mazhab tersebut mengenai syarat-syarat jual beli, antara lain sebagai berikut :
(a)      Berkaitan dengan ‘aqid
Tamyiz merupakan syarat yan disepakati, sedangkan baligh merupakan syarat yang diperselisihkan oleh para ulama. Menurut Malikiyah dan Hanafiah, baligh adalah syarat nafadz (kelangsungan jual beli), sedangkan menurut syafi’iyah dan Hanabilah baligh merupakan syarat in’iqad (keabsahan jual beli).
Adapun ikhtiyar (kebebasan) merupakan syarat in’iqad menurut jumhur, dan syarat nafadz menurut Hanafiah. Dengan demikian, akad orang yang dipaksa hukumnya batal menurut jumhur, mauquf ghair nafidz menurut Malikiyah, dan ghair lazim menurut pendapat yang mu’tamad dari Malikiyah.
(b)     Berkaitan dengan shighat
Bersatunya ijab dan qabul dalam satu majelis, tidak terpisah, sesuai dan selaras, saling mendengar pernyataan, tidak digantungkan dengan syarat, dan akad tidak boleh dibatasi dengan waktu, merupakan syarat-syarat yang disepakati oleh keempat ulama mazhab.
(c)      Berkaitab dengan objek akad (ma’qud ‘alaih)
Ma’qud ‘alaih harus mal mutaqawwim, maujud (ada), bisa diserahkan, diketahui (tidak majhul) merupakan syarat-syarat yang disepakati. Hanya saja menurut Hanafiah jahalah (ketidak jelasan) menyebabkan jual beli menjadi fasid, dan menurut jumhur mambatalkannya. Adapun keadaan mabi’ (objek jual beli) harus dimiliki oleh penjual dipandang sebagai syarat nafadz oleh Hanafiyah dan Malikiyah, dan sebagai syarat in’iqad oleh Syafi’iyah dan Hanabilah. Dengan demikian, jual beli fudhuli mauqud menurut kelompok pertama (Hanafiyah dan Malikiyah), dan batal menurut kelompok kedua (Syafi’iyah dan Hanabilah).
Adapun syarat mabi’ (barang yang dijual) tidak dikaitkan dengan hak orang lain selain penjual, seperti dalam jual beli barang yang digadaikan, oleh Hanafiyah dianggap sebagai syarat nafadz, sedangkan oleh Syafi’iyah, Malikiyah, dan Hanabilah dipandang sebagai syarat in’iqad. Dengan demikian, jual beli marhun (barang yang dugadaikan) mauqud menurut pendapat pertama (Hanafiyah) dan batal menurut pendapat kedua (jumhur).[31]

5. Macam-Macam Jual Beli
a.    Menurut Hanafiah
1)   Dilihat dari segi sifatnya
Dilihat dari segi sifatnya, jual beli terbagi kepada dua bagian, yaitu jual beli shahih dan ghairu shahih. Jual beli shahih adalah:
Jual beli yang shahih adalah jual beli yang disyariatkan dengan memenuhi asalnya dan sifatnya atau dengan ungkapan lain, jual beli shahih adalah jual beli yang tidak terjadi kerusakan. Baik pada rukunnya maupun pada syaratnya.
Jual beli yang shahih, apabila objeknya tidak ada hubungannya dengan hak orang lain selain akid maka hukumunya nafidz. Artinya, bisa dilangsungkan dengan malaksanakan hak dan kewajiban dengan masing-masing pihak yaitu penjual dan pembeli. Apabila objek jual belinya ada kaitannya dengan hak orang lain, maka hukumnya maukuf, yakni ditangguhkan menunggu persetujuan pihak terkait seperti jual beli barang yang digadaikan dan disewakan.
Pengertian jual beli ghairu shahih adalah:
Jual beli ghairu shahih adalah jual beli yang tidak dibenarkan sama sekali oleh syariat, dan dinamakan jual beli batil atau jual beli yang disyariatkan dengan terpenuhi pokoknya (rukunnya), sifatnya dan ini dinamakan jual beli fasid.[32]
Dari definisi tersebut, dapat dipahami bahwwa jual beli ghairu shahih adalah jual beli yang syarat dan rukunnya tidak terpenuhi sama sekali, atau rukunnya terpenuhi tetapi sifat atau syaratnya tidak terpenuhi, seperti jual beli yang dilakukan oleh orang yang memiliki ahliyatul ‘ahda’ kamilah (sempurna), tetapi barang yang dijual belum jelas (majhul). Apa bila rukun dan syaratnya tidak terpenuhi, maka jual beli tersebut disebut jual beli yang batil, akan tetapi, apabila rukunnya terpenuhi tetapi ada sifat yang dilarang maka jual belinya disebut fasid.
2)   Dilihat Dari Segi Shighatnya
Jual beli terbagi menjadi dua bagian, jual beli mutlak dan ghairu mutlak. Jual beli mutlak adalah jual beli yang dinyatakan dengan sighat (redaksi) yang bebas dari kaitannya dengan syarat dan sandaran kepada masa yang akan datang.
Sedang pengertian untuk ghairu mutlak adalah jual beli yang sighatnya (redaksinya) dikaitkan atau disertai dengan syarat atau disandarkan pada masa yang akan datang.[33]
3)   Dilihat Dari Segi Hubungannya dengan Obyek Jual-beli
Jual beli ini dibagi kepada empat bagian, yaitu, jual beli muqoyyadloh, sharf, salam dan mutlak.
Jual beli Muqayyadhah adalah jual beli barang dengan barang. Seperti jual beli binatang dengan binatang, beras dengan gula, atau mobil dengan mobil. Jual beli semacam ini hukumnya shahih. Baik barang tersebut jenisnya sama atau berbeda. Apabila barangnya satu jenis, maka disyaratkan tidak boleh ada riba.
Jual beli Sharf adalah:

الصَّرفُ هُوَ بَيْعُ الذَّهَبِ بِالذَّهَبِ , وَالْفِضَّةِ بِالْفِضَّةِ, أَوْ بَيْعُ أَحَدِهِمَا بِالأَخَرْ

Tukar menukar emas dengan emas dan perak dengan perak atau menjual salah satu dari keduanya dengan yang lain )Emas dengan perak atau perak dengan emas(.

Dalam jual beli sharf yang jenisnya sama disyaratkan:
a)    Kedua jenis mata uang yang ditukarkan harus sama nilainya, tidak boleh lebih. Misalnya uang sepuluh real di tukar dengan uang sepuluh real pecahan satu real.
b)   Tunai, apabila emas dijual atau ditukar dengan emas dengan pembayaran duangsur, maka hokum jual belinya tidak sah.
c)    Harus diserah terimakan di majlis akad apabila keduanya terpisah secara fisik sebelum uang yang di tukar diterima maka akad menjadi batal.
Jual beli Salam adalah, penjualan tempo dengan pembayaran tunai. Sayid Sabiq memberikan definisi salam sebagai berikut:

السَّلاَمُ وَيُسَمَّى السَّلَفُ وَهُوَ بَيْعٌ شَيْئٍ مَوْصُوْفٍ فِي الذِّمَّةِ بِثَمَنٍ مُعَجَّلً

Jual beli salam disebut juga salaf adalah jual beli sesuatu yang disebutkan sifat-sifatnya dalam perjanjian dengan harga atau pembayaran dipercepat (tunai).
Dari definisi tersebut dapat dibagi bahwa salam adalah jual beli dengan memesan barang terlebih dahulu yang disebutkan sifatnya atau ukurannya, sedangkan pembayarannya dilakukan dengan tunai. Orang yang memesan disebut muslim, orang yang memiliki barang disebut muslam ilaih, barang yang dipesan disebut muslam fiih, dan harganya disebut ro’su mal as-salam. Hokum jual beli salam ini boleh sebagai rukhsah dan pengecualian dari persyaratan jual beli dimana barang harus ada pada waktu akad. Dasar hukumnya yaitu Firman Allah SWT:
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) LäêZtƒ#ys? AûøïyÎ/ #n<Î) 9@y_r& wK|¡B çnqç7çFò2$$sù 4
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. (QS. Al-Baqarah 282)
Dalam hadits dibenarkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari ibnu Abbas:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ الّلهُ عَنهُمَا قَالَ : قَدِمَ النَّبِيُ صَلَّى الّله عَلَيْهِ وَسَلَّم المَدِينَةَ يُسْلِفُوْنَ فِي الثِّمَا رِ السَّنَةَ وَالسَّنَتَيْنِ فَقَالَ : مَنْ أَسْلَفَ فِي تَمَرِ فَلْيُسْلِفْ فِي كَيْلٍ مَعْلُوْمٍ وَوَزْنٍ مَعْلُوْمٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُوْمٍ. (مُتَّفَقٌ عَلَيْه)

Dari ibn Abbas r.a ia berkata; Nabi SAW telah datang ke Madinah dan mereka (penduduk Madinah) memesan buah-buahan selama satu tahun dan dua tahun, maka Nabi bersabda; “Barang siapa yang memesan buah kurma, maka hendaklah ia memesannya dalam takaran tertentu, dan timbangan tertentu serta waktu tertentu(Muttafakun ‘Alaih).[34]
4)   Dilihat dari segi harga dan ukurannya
 jual beli terbagi kepada empat bagian, yaitu jual beli Murabbahah, Tauliyah, Wadi’ah dan Musawwamah.
Murabbahah dalam arti bahasa berarti ziyadah atau tambahan. Menurut istilah para fuqaha’, murabbahah sebagai berikut:
Jual beli Murabbahah adalah, menjual barang dengan harganya semula ditambah dengan keuntungan dengan syarat-syarat tertentu, atau dengan kata lain jual beli yang menguntungkan.  Misalnya, seseorang membeli mobil dengan harga Rp. 100.000.000,- termasuk biaya pajak dan lain-lain. Pada waktu ia menjual mobilnya pada orang lain, keuntungan yang diinginkan yaitu sebesar Rp.20.000.000. Jadi harga penjualannya menjadi Rp.120.000.000.
Jual beli Tauliyah adalah jual beli barang sesuai dengan harga pertama tanpa tambahan. Atau menjual dengan harga aslinya.[35]
Jual beli Wadli’ah adalah jual beli barang dengan mengurangi harga pembelian.
Jual beli Musawwamah adalah jual beli yang biasa berlaku dimana para pihak yang melakukan akad jual beli saling menawar sehingga mereka berdua sepakat atas suatu harga dalam transaksi yang mereka lakukan. Dalam jual beli ini apabila barang sedang ditawa oleh orang lain denga harga yang masih dinegosiasikan dan disepakati belum terjadi ijab qabul, maka orang lain tidak boleh menawar dengan harga yang melebihi tawaran pertama.
b.   Menurut Malikiyah
1)   Ditinjau dari Segi Pembayarannya Tempo atau Tunai
a)    Jual beli tunai (bai’ an-naqd), yaitu jual beli dimana harga (tsaman) dan barang (tysaman fiih) diserahkan secara tunai.
b)   Jual beli utang dengan utang (bai’ ad-Dain bi ad-Dain), yaitu jual beli diman harga dan barang diserahkan nanti (tempo) ini termasuk jual beli yang dilarang.
c)    Jual beli tempo (al-Bai’ li ajal), yaitu jual beli dimana harga dibayar tempo sedangkan barang diberikan tunai.
d)   Jual beli Salam yaitu, jual beli dimana barang diberikan nanti tetapi harga dibayar tunai.
2)   Ditinjau dari Segi Alat Pembayarannya
a)    Jual beli benda dengan benda (bai’ ‘al-ain bi al-‘ain)
Jual beli ini terbagi kepada tiga bagian; jual beli sarf, murathalah dan mubaddalah:
(1)     Jual beli Sharf yaitu, jual beli dimana jenis penukarannya berbeda, seperti emas dan perak atau sebaliknya
(2)     Jual beli Murathalah yaitu, jual beli dimana jenis penukarannya sama dengan cara ditimbang, seperti emas dengan emas.
(3)     Jual beli Mubaddalah  yaitu, jual beli dimana jenis penukarannya sama tetapi jual beli dilakukan dengan cara dihitung, bukan ditimbang.
(4)     Jual beli ‘Ardh dengan ‘Ardh, yakni jual beli uang emas dengan uang emas, atau perak dengan perak.
(5)     Jual beli ‘Ardh (emas atau perak) dengan benda.
3)   Ditinjau dari segi dilihat atau tidaknya objek
a)    Jual beli barang yang kelihatan (bai’ al-hadhir), yaitu jual beli dimana barang yang menjadi objek jual beli bisa dilihat.
b)   Jual beli barang yang tidak kelihatan (bai’ al-ghaib), yaitu jual beli dimana barang yang menjadi objek akad tidak bisa diliahat.
4)   Ditinjau dari putus tidaknya akad
a)    Jual beli yang putus (jadi) sekaligus (bai’ al-bat), yaitu jual beli yang tidak ada khiyar (pilihan) bagi salah satu pihak yang berakat.
b)   Jual beli khiyar (bai’ al-khiyar), yaitu jual beli dimana salah satu pihak yang melakukan akad member kesempatan khiyar (pilihan untuk meneruskan jual beli atau membatalkannya) kepada pihak lainnya.
5)   Ditinjau dari segi ada tidaknya harga pertama
a)    Jual beli Murabahah.
b)   Jual beli Musawamah.
c)    Jual beli Muzayadah, yaitu jual beli dimana para pihak yang berakad menambah harga, sehingga di dapat harga tertinggi.
d)   Jual beli Al-Isti’man, yaitu jual beli dengan tujuan untuk mencari perlindungan keamanandari segala yang zhalim.
6)   Ditinjau dari segi sifatnya
a)    Jual beli yang shahih
b)   Jual beli yang fasid
c.    Menurut Syafi’iyah
Syafi’iyah membagi akad jual beli kepada dua bagian:
1)   Jual beli yang shahih, yaitu jual beli yang terpenuhi syarat dan rukunnya.
2)   Jual beli yang fasid, yaitu jual beli yang sebagian syarat dan rukunnya tidak terpenuhi.
d.   Menurut Hanabilah
Hanabilah membagi jual beli kepada dua bagian yaitu shahih lazim dan fasid.[36]

C.  Kesimpulan

Dari Pemaparan di atas dapat di tarik kesimpulan bahwasanya jual beli merupakan suatu akad yang dilakukan untuk memindahkan hak kepemilikan barang guna diambil manfaatnya dengan memenuhi rukun dan syarat-syarat yang telah ditentukan. Hukum jual beli hukumnya boleh atas dasar Al-Qur’an dan hadits Nabi.
Jual beli dikatakan sah jika terpenuhi syarat dan rukunnya. Rukun yang harus terpenuhi yaitu adanya Akad yaitu lafal ijab da qabul, adanya ‘aqid yaitu penjual dan pembeli, kemudian Ma’qud ‘alaih yaitu barang untuk membeli dan barang yang dibeli. Dan syarat yang harus dipenuhi dalam proses jual beli yaitu syarat in’aqid, syarat sah akad, syarat bafidz dan syarat luzum.
Jual beli memiliki banyak macam, karena para imam madzhab membaginya dari banyak segi misalnya dari segi shighat, sifat, waktu pembayaran, alat pembayaran dan lain sebagainya.

DAFTAR RUJUKAN

Al-Anshari, Abi Yahya Zakariya. tt. Fathul Wahhab. Juz ١. Kediri: Pethuk.
Al-Bugha, Musthafa Dib. 2010. Fikih Islam Lengkap Penjelasan Hukum-Hukum Islam Madzhab Syafi’i.  Surakarta: Media Zikir
Al-Jamal, Ibrahim Muhammad. 1986. Fiqih Wanita. Semarang: CV AS-Syifa’.
Al-Jaziiri, Abdur Rahman. 2003. Kitab Al-fiqh ‘Ala Madzaahib Al-Arba’ah. Beirut: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah.
Al-Kahlani, Muhammad bin Ismail. tt. Subul As-Salam, Juz ٣. Surabaya: Al-hidayah.
Al-Khalafi, Abdul ‘Azhim bin Badawi . 2008. Al-Wajiz. Jakarta: Pustaka as-Sunnah.
Al-Mishriy, Abi Bakr Ad-Dimyati. tt. I’anah Ath-Thalibin. Juz ٣. Jeddah: Al-Haramain.
As-Sayuthi, Jalaluddin Abi Bakr. 2006. Al-Jami’ Ash-Shaghir. Cetakan Ke-3. Beirut: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah.
Kamal bin As-Sayyid Salim, Abu Malik. 2007. Shahih Fikih Sunnah. Jakarta: Pustaka Azzam.
Muslich, Ahmad Wardi. 2010. Fiqh Muamalat. Jakarta: Amzah.
Rifa’i, Moh. 1978. Fiqih Islam Lengkap. Semarang: PT Karya Toha Putra.
Syafei, Rachmat. 2001. Fiqih Muamalah. Bandung: Pustaka Setia.



[1]     Ahmad Wardi Muslich. Fiqh Muamalat. (Jakarta: Amzah, 2010). Hlm. 173
[2]     Ibid.
[3]     Abdul ‘Azhim bin Badawi al-Khalafi. Al-Wajis. (Jakarta: Pustaka as-Sunnah, 2008). Hlm. 649
[4]     Ibrahim Muhammad Al-Jamal. Fiqih Wanita. (Semarang: CV AS-Syifa’, 1986). Hlm. 490
[5]     Abu Bakar Ad-Dimyati Al-Mishriy. I’anah Ath-Tholibiin, Juz 3. (Jeddah: Al-Haromain, tt) hlm 2
[6]     Ahmad Wardi Muslich. Op. Cit. Hlm. 177
[7]     Muhammad bin Isma’il Al-Kahlani. Subulu As-Salaam. Juz 3. (Surabaya: Al-Hidayah. tt). Hlm. 4
[8]     Musthafa Dib Al-Bugha. Fikih Islam Lengkap Penjelasan Hukum-Hukum Islam Madzhab Syafi’i. (Surakarta: Media Zikir, 2010). Hlm. 257
[9]     Ahmad Wardi Muslich. Op. Cit. Hlm. 180
[10]    Abdur Rahman Al-Jaziri. Kitab Al-Fiqhi ‘Ala Madzhabi Arba’ah. (Bairut: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah. 2003). Hlm. 141
[11]    Abi Yahya Zakariya Al-Anshori. Fathul Wahhab, Juz 1. (Kediri: Mahfudhzoh, tt). Hlm.157
[12]    Ahmad Wardi Muslich. Op. Cit. Hlm. 182
[13]    Ibid. Hlm 183
[14]    Jalaluddin As-Sayuthi. Al-jami’ Ash-Shaghir. (Bairut: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah. 2006). Hlm. 153
[15]    Ahmad Wardi Muslich. Op. Cit. Hlm. 185
[16]    Jalaluddin As-Sayuthi. Op. Cit. Hlm. 193
[17]    Ahmad Wardi Muslich. Op. Cit. Hlm. 186
[18]    Moh Rifa’i. Fiqih Islam Lengkap. (Semarang: PT Karya Toha Putra, 1978). Hlm. 404
[19]    IbidHlm 189
[20]    IbidHlm 190
[21]     Ahmad Wardi Muslich, Op. Cit. Hlm. 190
[22]    Ibid. Hlm. 191
[23]    Ibid.
[24]    Ibid. Hlm. 192
[25]    Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim. Shahih Fikih Sunnah. (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007). Hlm. 487
[26]    Ahmad Wardi Muslich. Op. Cit.  Hlm. 192
[27]    Ibid.
[28]    Ibid. Hlm. 193
[29]    Ahmad Wardi Muslich. Op. Cit. Hlm. 196
[30]    Ibid, hlm 197
[31]    Ibid, hlm 200
[32]    Ahmad Wardi Muslich. Op. Cit. Hlm. 202
[33]    Ibid. Hlm. 203
[34]    Muhammad bin Isma’il Al-Kahlani. Op. Cit. Hlm. 49
[35]    Rachmat Syafei. Fiqih Muamalah. (Bandung: Pustaka Setia. 2001).  Hlm. 101
[36]    Ahmad Wardi Muslich. Op. Cit. Hlm. 213