Thursday, April 18, 2013

ILMU PERBANDINGAN AGAMA


A.  PENDAHULUAN
Ilmu agama sejak kemunculannya sebagai suatu disiplin keilmuan pada akhir abad ke-19, setahap demi setahap melengkapi identitas dirinya dengan ciri-ciri khas yang memperkuat dan memperjelas status sebagai pengetahuan ilmiah atau ilmu. Objek kajiannya yaitu meliputi  semua agama-agama, baik agama pada masa lalu maupun pada masa sekarang. Sedangkan teologi pada dasarnya hanya mengkaji satu agama tertentu saja, yaitu agama yang di yakini kebenarannya. Jika mempelajari agama lain itupun menggunakan norma agama yang di yakini kebenarannya.

Seiring dengan berkembangnya ilmu agama munculah ilmu perbandingan agama yang bertujuan untuk memahami agama-agama yang diteliti secara ilmiah. Ilmu perbandingan agama adalah ilmu yang mempelajari tentang agama, sistem keyakinan, pribadatan, dan kelembagaan agama secara ilmiah dengan pendekatan holistik (secara menyeluruh, beragam). Secara ilmiah berarti ilmu perbandingan agama kajiannya terhadap agama yang bersifat indukatif karena kajian terhadap agama dengan menggunakan pendekatan-pendekatan ilmu-ilmu lain, dan standar yang di gunakan secarah ilmiah artinya melihat gejala agama secara objektif maksudnya yang bersifat intersubjektif artinya kesinambungan antara doktrin agama dan teori ilmiah (sui generis cum doktrinner). Kemudian perbandingan bermakana sebagai aproach yang berarti metode, pendekatan dan teori bukan agamanya yang dibandingkan.
Dalam pekembangannya Ilmu Perbandinghan Agama sering menimbulkan salah pengertian. Pertama, seseorang sering memahami Ilmu Perbandingan Agama sebagai ilmu yang hanya membandingkan antara agama yang satu dengan agama lain. Padahal tujuan dari Ilmu Perbandingan Agama bukan sekedar membanding-bandingkan, tetapi lebih luas dari itu. Bahkan seorang sering mengira bahwa tugas Ilmu Perbandingan Agama adalah menilai kesalahan-kesalahan agama lain. Padahal menilai kesalahan-kesalahan agama lain bukanlah tugas dari Ilmu Perbandingan Agama, tetapi tugas dari Ilmu Kalam atau Teologi Islam. Kedua, seseorang dengan apriori mengangap bahwa Ilmu Perbandingan Agama mendangkalkan aqidah. Sebab seseorang mengira bahwa dengan mempelajari Ilmu Perbandingan Agama akan mengurangi keyakinan agama Islam. Padahal justru dengan mempelajari Ilmu Perbandingan Agama seorang Muslim akan semakin menemukan mutu-manikam keunggulan ajaran agama Islam dibandingkan ajaran agama lain. Mutu-manikam keunggulan ajaran Islam kurang tampak kalau tidak dibandingkan dengan ajaran agama lain, tetapi justru tampak cemerlang setelah dibandingkan dengan ajaran agama lain.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dalam karangan ini akan dikaji Ilmu Perbandingan Agama secara seksama meskipun dengan ringkas. Dengan demikian dapat mengurangi atau menghilangkan beberapa sakwasangka tentang Ilmu Perbandingan Agama. Oleh karena itu pada makalah ini akan dibahas pengertian dan nama-nama Ilmu Perbandingan Agama, obyek Ilmu Perbandingan Agama, aliran dalam Ilmu Perbandingan Agama, metode-metode Ilmu Perbandingan Agama, perkembangan Ilmu Perbandingan Agama, dan manfaat dan guna Ilmu Perbandingan Agama.

B.  PEMBAHASAN
1.    Pengertian Ilmu Perbandingan Agama
Ilmu perbandingan agama adalah ilmu yang mempelajari tentang agama, sistem keyakinan, pribadatan, dan kelembagaan agama secara ilmiah dengan pendekatan holistik (secara menyeluruh, beragam).
Ilmu perbandingan agama mempunyai beberapa nama yaitu : Allgemeine Religionswissenschaft, Science of Religions, The History of Religions, Comparative Studies of Religion, Phenomenology of Religion, Historical Phenomenology, The Study of World Religions, Systematic Science of Religion, ergleichende Religionswissenschaft, Fenomenologi Agama.[1]
Mukti Ali  berpendapat bahawa ilmu perbandingan agama adalah  salah satu cabang ilmu pengetahuan yang berusaha untuk memahami gejala-gejala keagamaan dari suatu kepercayaan (agama) dalam hubungan dengan agama lain. Pemahaman ini mencakup persamaan dan perbedaannya. Selanjutnya dengan pembahasan tersebut, struktur yang asasi dari pengalaman keagamaan manusia dan pentingnya bagi hidup dan kehidupan di pelajari dan dinilai.[2]
Berdasarkan nama-nama lain dari Ilmu Perbandingan Agama di atas, jelaslah bahwa Ilmu Perbandingan Agama tidak hanya membanding-bandingkan agama saja, tetapi juga melakukan kajian historis, fenomenologis, atau secara umum melakukan kajian yang bersifat ilmiah atau scientific. Hal itu akan semakin jelas setelah dibahas mengenai metode-metode yang digunakan dalam Ilmu Perbandingan Agama.

2.    Obyek Kajian Ilmu Perbandingan Agama
Mukti Ali menjelaskan bahwa obyek Ilmu Perbandingan Agama adalah pertanyaan-pertanyaan yang bersifat fundamental dan universal dari tiap-tiap agama. Beberapa pertanyaan tersebut akan akan dijawab sesuai dengan ajaran agama masing-masing. Beberapa pertanyaan yang bersifat fundamental dan universal tersebut antara lain: apakah konsepsi agama tentang Tuhan? Apakah konsepsi agama tentang manusia? Apakah konsepsi agama tentang dosa dan pahala? Apakah hubungan kepercayaan dengan akal? Bagaimanakah hubungan antara agama dengan etika? Apakah fungsi agama dalam masyarakat?, dan lain sebagainya.[3]
Joachim Wach dari sudut pandang yang lain, berpendapat bahwa obyek Ilmu Perbandingan Agama adalah pengalaman agama. Menurut Joachim Wach pengalaman agama berbeda dengan pengalaman psikis biasa. Pengalaman agama mempunyai beberapa kriteria tertentu.
Pertama, pengalaman agama merupakan suatu tanggapan terhadap apa yang dihayati sebagai Realitas Mutlak.
Kedua, pengalaman agama merupakan tanggapan yang menyeluruh atau utuh (akal, perasaan, dan kehendak hati) manusia terhadap Realitas Mutlak.
Ketiga, pengalaman agama merupakan pengalaman yang paling kuat, menyeluruh, mengesankan, dan mendalam dari manusia.
Keempat, pengalaman agama merupakan pengalaman yang menggerakan untuk berbuat. Pengalaman tersebut mengandung imperatif, menjadi sumber motivasi dan perbuatan yang tak tergoyahkan.
Pengalaman agama yang subyektif ini diekspresikan atau diungkapkan dalam tiga ekspresi, yaitu:
a.    Pengalaman agama yang diungkapkan dalam pikiran, berupa: , doktrin, dan dogma. Pengalaman agama ini dapat berbentuk symbol, oral, dan tulisan.
b.    Pengalaman agama yang diungkapkan dalam tindakan, berupa kultus (peribadatan) dan pelayanan. Peribadatan sebagai tanggapan terhadap Realitas Mutlak harus dilakukan di mana, kapan, bagaimana caranya, dan oleh siapa? Apakah ibadah itu harus dilakukan sendiri-sendiri atau secara berjamaah? Termasuk dalam uangkapan perbuatan ini adalah kurban dengan segala seluk-beluknya.
c.    Pengalaman agama yang diungkapkan dalam kelompok, berupa -kelompok keagamaan (Ecclesia atau Gereja, Kahal, Ummah, Sangha)[4]
Ketiga ekpresi pengalaman agama di atas (pikiran, tindakan, dan kelompok) yang menjadi obyek Ilmu Perbandingan Agama meliputi semua agama yang ada dan aliran-alirannya.

3.    Sejarah Pertumbuhan Dan Perkembangan Ilmu Perbandingan Agama
a.    Perkembangan di Dunia Barat
Di Barat Herodotus (481 SM), beroros (250 SM), Cicero (106-38 SM), Sallustius (86-34 SM) telah memberikan sketsa tentang sejarah berbagai agama dan menggambarkan adat kebiasaan bangsa-bangsa lain yang diketahuinya pada waktu itu. Strabo (63 SM – 21 M) telah menulis dengan kritis agama-agama di dunia Timur. Ia diikuti oleh Varro (116-27 SM) dan Tacitus (55-117 M).
Selanjutnya beberapa penulis Kristen apologis pada abad-abad pertama seperti Aristides telah memberikan interpretasi tentang hubungan antara agama kafir, Yahudi dan Kristen. Berikutnya Clement dari Alexandria (202 M) menulis tentang agama Buddha. Saxo (1220 M) dan Snorri (1241) menulis tentang agama-agama di Eropa Utara.
Marco Polo (1254-1324 M) yang telah menjelajahi Asia Tengah pada tahun 1271 dan Negeri Tiongkok pada tahun 1275 telah menulis tentang agama-agama Timur di Eropa pada masa itu.
Pada masa Reformasi dan Renaissanse, Erasmus  (1469-1536 M) menulis tentang elemen-elemen agama kafir yang terdapat dalam peribadatan agama Roma Katolik dan ajaran-ajarannya. Kemudian diikuti oleh Toland dalam bukunya Christianity not Mysterius (1696).
Sejalan dengan semangat Rasionalisme, maka mulailah teori evolusi tentang asal-usul agama, dengan menolak adanya revelation (wahyu). Hal ini tampak dalam bukunya David Hume dengan judul Natural History of Religion (1757) dan dalam bukunya Voltair berjudul Essay (1780).
Selanjutnya diikuti dengan penelitian agama yang historis dari Duperon tentang agama Persia; William Jones tentang agama Sanskrit; Champollion tentang agama Mesir Lama; Rask tentang agama Persia dan India; Niebuhr, Botta, Layard dan lainnya menulis tentang agama Babilonia. Kemudian Ernest Renan (1822-1892) menjadi orang pertama yang menciptakan istilah “Comparative Study of Religion.
Sebelum penutup abad ke-19 sudah terdapat ahli-ahlinya di Belanda, Switzerland, Perancis, Italia, Denmark, Belgia dan Amerika. Setelah itu diterbitkanlah beberapa buku, majalah, dan diadakan beberapa konggres internasional. Namun Ilmu Perbandingan Agama dalam arti yang sebenarnya lahir pada saat Max Muller (1823-1900) menulis beberapa karangannya tentang agama-agama. Oleh karena itu Max Muller dapat disebut sebagai bapak Ilmu Perbandingan Agama.[5]
Ilmu Perbandingan Agama di Barat dapat berkembang dengan baik karena didukung oleh suasana dan semangat ilmiah yang baik dan dana yang memadai.


b.   Perkembangan di Dunia Islam
Pada abad ke-11 tampil Ibn Hazm (994-1064), salah seorang penulis besar dalam Islam, telah menulis kitab sekitar 400 jilid tentang sejarah, teologi, hadits, logika, syair, dsb. Kitabnya yang berkaitan dengan agama lain ialah Al-Fasl fil-Milal wal-Ahwa’ wan-Nihal. Di dalam kitab tersebut Ibn Hazm membahas tentang agama Kristen dan Kitab Bible.
Kemudian salah seorang penulis Muslim terkemuka, Muhammad Abdul Karim Asy-Syahrastani (1071-1143) menulis Kitab Al-Milal wan-Nihal (1127). Di dalam kitab tersebut ia membagi agama menjadi: Islam, Ahlul Kitab dan orang yang mendapatkan wahyu tetapi tidak tergolong Ahlul Kitab, yaitu orng-orang yang bebas berpikir dan ahli-ahli filasafat.
Namun haruslah diakui bahwa perkembangan pebandingan agama di dunia Islam tidak luput dari apologi. Tulisan yang bersifat apologis ini tampak dalam tulisan Ahmad as-Sanhaji Qarafi (meninggal 1235) dalam bukunya  Al-Ajwibah al-Fakhirah an al-As’ilah al-Fajirah. Kitab ini merupakan jawaban terhadap buku Risalah ila Ahad al-Muslimin yang dikarang oleh Uskup dari Sidon. Muhammad Abduh menulis buku Al-Islam wan Nashraniyah ma’al ‘ilmi wal-Madaniyah, sebagai jawaban terhadap tulisan-tulisan Farah Antun dalam Al-Jami’ah. Masih banyak beberapa tulisan dari penulis Muslim yang bersifat apologis misalnya Husain Hirrawi, Syaikh Yusuf Nabbani, Ahmad Maliji, Muhammad Ali Maliji, Abdul Ahad Dawud, dsb. Di sini perlulah disebut karangan  apologis yang sangat baik, yaitu buku The Spirit of Islam, karangan Ameer Ali.
Perkembangan Ilmu Perbandingan Agama di dunia Islam kurang menguntungkan dibandingkan dengan Barat. Sebagian besar kitab yang dikarang oleh penulis Muslim bersifat apologis. Patut diperhatikan juga bahwa pada abad ke-19 beberapa Negara Islam dalam cengkeraman penjajahan Negara Barat, sehingga perhatian dipusatkan untuk pembebasan atau kemerdekaan negaranya dari penjajahan.[6]
c.    Perkembangan di Indonesia
Di Indonesia Ilmu Perbandingan Agama mulai diajarkan di Fakultas Ushuluddin Jurusan Perbandingan Agama IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada tahun 1961, atau satu tahun setelah berdirinya IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Pada tahun 1964 terbitlah buku pertama tentang Ilmu Perbandingan Agama yang ditulis oleh Dr. A. Mukti Ali dengan judul  Ilmu Perbandingan Agama (Sebuah Pembahasan tentang Methodos dan Sistema). Setelah seperempat abad lamanya belum terbit lagi buku Ilmu Perbandingan Agama yang membahas tentang metode dan sistema. Baru pada tahun 1986 terbitlah buku Ilmu Perbandingan Agama yang membahas tentang metode dan sistema yang dikarang oleh pengarang yang sama (Dr. A. Mukti Ali) dengan judul Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia.
Ilmu Perbandingan Agama kurang berkembang di Indonesia karena kurang anggaran/dana, minimnya pertemuan ilmiah, dan kurang informasi tentang Ilmu Perbandingan Agama baik mengenai isinya maupun manfaatnya bagi kerukunan hidup beragama maupun untuk integrasi bangsa  Indonesia.
Secara garis besar dapatlah disimpulkan bahwa Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia kurang berkembang dengan baik. Adapun sebab-sebabnya antara lain sebagai berikut:
1)   Kekurangan bacaan ilmiah.
2)   Kekurangan kegiatan penelitian secara ilmiah.
3)   Kekurangan diskusi akademis.
4)   Masih rendahnya penguasaan bahasa asing dari sebagian besar para mahasiswa dan dosen, padahal hanya sedikit buku Ilmu Perbandingan Agama yang ditulis dalam bahasa Indonesia yang membahas secara analitis.
Di samping itu ada beberapa sebab yang bersifat fundamental yang menyebabkan Ilmu Perbandingan Agama kurang berkembang di Indonesia, yaitu:
1)   Pemikiran ulama di Indonesia tentang Islam lebih banyak menekankan bidang fikih yang bersifat normatif.
2)   Setelah pemberontakan PKI, Isalm di Indonesia lebih banyak menekankan semangat dakwah, sehingga ilmu yang ditekankan ialah Ilmu Dakwah atau Missiologi.
3)   Karena Ilmu Perbandingan Agama lahir dari Barat  sehingga menyebabkan salah sangka dan curiga di kalangan umat Islam.
4)   Para peserta kuliah Ilmu Perbandingan Agama kurang menguasai ilmu-ilmu bantu (Sejarah, Sosiologi, Antropologi, Arkeologi, dan sebagainya). Di samping itu mereka kurang menguasai bahasa asing.[7]

4.    Aliran Dalam Ilmu Perbandingan Agama
a.    Politeisme
Sistem politeistik: Polytheisme (kepercayaan banyak tuhan) diperkirakan berasal dengan Hindu di sekitar 2500 SM. Keyakinan Hindu dicatat dalam Bhagavad Gita, yang mengungkapkan bahwa banyak dewa tunduk pada dewa Brahman tertinggi. Politeisme juga agama dari banyak kebudayaan kuno lainnya, termasuk Asyur, Babilonia, Mesir, Yunani dan Roma. Sistem kepercayaan kuno politeistik dewa dipandang sebagai mengendalikan segala peristiwa alam seperti curah hujan, panen dan kesuburan.
b.   Panteisme
Sistem panteistik: Panteisme (sebuah keyakinan bahwa semua adalah Tuhan) berlaku di banyak budaya kuno. Kepercayaan bahwa alam semesta itu sendiri ilahi dilambangkan dalam kepercayaan Animisme dari budaya India Afrika dan Amerika, agama kemudian Mesir di bawah Pharoahs, dan Buddhisme, Konfusianisme dan Taoisme dalam budaya Timur Jauh. Kepercayaan panteistik juga menemukan kebangkitan di antara berbagai gerakan New Age. Umumnya, panteisme adalah prinsip bahwa Tuhan adalah segalanya, dan semuanya adalah dewa.
c.    Monoteisme
Sistem monoteistik yaitu Tauhid (keyakinan pada satu Tuhan) adalah dasar dari garis Yahudi-Kristen-Islam agama, yang dimulai dengan seorang pria bernama Abraham di sekitar 2000 SM. Dari titik ini dalam sejarah, Tuhan mulai menyatakan diri-Nya kepada dunia melalui bangsa Israel. Kitab Suci Yahudi catatan perjalanan orang Israel dari budak di Mesir ke "tanah perjanjian" di Kanaan di bawah kepemimpinan Musa. Selama jangka waktu sekitar 1500 tahun, Allah mengungkapkan apa yang menjadi Perjanjian Lama dari Alkitab. Selama periode Kekaisaran Romawi, Yesus Kristus dilahirkan di Betlehem. Setelah kenaikan Kristus ke surga, gereja Kristen tumbuh dalam nama-Nya dan Perjanjian Baru ditulis. Sekitar 600 tahun kemudian, Muhammad mulai berkhotbah di Mekah. Muhammad percaya bahwa ia adalah nabi akan Allah, dan ajaran-ajarannya menjadi ajaran Islam seperti yang tercatat dalam Al Qur'an.

5.    Metode-Metode Ilmu Perbandingan Agama
Ada beberapa metode yang digunakan dalam Ilmu Perbandingan Agama. Metode-metode tersebut ialah:

a.    Metode Historis
Agama yang dikaji dalam metode ini bukan hanya agama secara keseluruhan, tetapi juga dapat dikaji aliran-aliran tertentu dari suatu agama maupun tokoh-tokoh tertentu dari suatu agama dalam periode tertentu dalam sejarah. Dalam metode ini agama dikaji dari segi atau aspek periodesasi dan saling pengaruh antara agama yang satu dengan agama lainnya. Di sini dikaji asal-usul dan pertumbuhan pemikiran dan lembaga-lembaga agama melalui periode-periode perkembangan sejarah tertentu, serta memahami peranan kekuatan-kekuatan yang diperlihatkan oleh agama dalam periode tersebut.
Bahan dalam kajian in biasanya mempergunakan bahan primer dan sekunder, baik yang bersifat literer (filologis) atau non-literer (arkeologis).[8]
Bila gejala keagamaan terjadi dimasa lampau dan peneliti berminat mengetahuinya, maka peneliti dapat melakukan penelitian sejarah yakni melakukan rekonstruksi terhadap fenomena masa lampau baik gejala keagamaan yang terkait dengan masalah politik, sosial, ekonomi dan budaya. Bagaimana peran pesantren dan kiyai dalam melakukan perlawanan terhadap tentara belanda dalam agresi militer kedua (tahun 1984)?. Sejarah ini belum terlalu lama berlalu sehingga masih banyak saksi hidup. Karena itu, untuk merekonstruksinya, peneliti dapat melakukan wawancara mendalam dengan pelaku sejarah dan saksi hidup. Juga dapat melakukan telaah kepustakaan, seperti Koran, majalah, arsip, dokumen-dokumen pribadi dan lain sebagainya.
Para sarjana yang mempergunakan metode historis ini antara lain: C.J. Bleeker, G. Widrengen, A. Reviolle, A. Bertholet dan Fr. M.
b.   Metode Sosiologis
Dalam metode ini dikaji problem-problem agama dan masyarakat dalam hubungannya satu sama lainnya. Banyak yang dapat dikaji dalam metode ini. Misalnya pengaruh kehidupan masyarakat dan perubahan-perubahannya terhadap pengalaman agama dan organisasi-organisasinya; pengaruh masyarakat terhadap ajaran-ajaran agama, praktek-praktek agama, golongan-golongan agama, jenis-jenis kepemimpinan agama; pengaruh agama terhadap perubahan-perubahan sosial, struktur-struktur sosial, pemenuhan atau fustrasi kebutuhan kepribadian; pengaruh timbale balik antara masyarakat dengan struktur intern persekutuan agama (segi keluar-masuknya jadi anggota, segi kepemimpinannya, toleransinya, kharismanya); pengaruh gejala-gejala kemasyarakatan (mekanisasi, industrialisasi, urbanisasi, dan sebagainya) terhadap agama; pengaruh agama terhadap etik, hukum, negara, politik, ekonomi, hubungan-hubungan sosial.
Beberapa contoh dari metode sosiologis ini misalnya: kajian Emile Durkheim mengenai hubungan totem dengan masyarakat. Menurut Emile Durkheim bentuk dan macam totem tergantung pada bentuk masyarakat. Dalam kajian lainnya ia menghubungkan antara gejala bunuh diri dengan Katolik dan Protestan. Menurutnya gejala bunuh diri di kalangan Katolik lebih sedikit dibandingkan di kalangan Protestan. Hal itu terjadi karena masyarakat di kalangan Katolik lebih banyak tergantung pada tradisi, sehingga problem-problem yang menimpa anggota-anggotanya dapat diselesaikan melalui tradisinya. Sedang di kalangan Protestan lebih bersifat individual, sehingga problem-problem yang menimpa anggota-anggotanya terpaksa dipecahkan secara individual.[9]
Objek penelitian agama dengan pendekatan sosiologi menurut Keith A. Robert memfokuskan pada:
1)   Kelompok-kelompok dan lembaga keagamaan (meliputi pembentukannya, kegiatan demi kelangsungan hidupnya, pemeliharaannya, dan pembubarannya).
2)   Perilaku individu dalam kelompok-kelompok tersebut (proses sosial yang mempengaruhi stasus keagamaan dan perilaku ritual)
3)   Konflik antar kelompok.
Beberapa sarjana yang menggunakan metode sosiologis antara lain: Joachim Wach, Milton Yinger, G. Le Bras, Gustav Mensching, Fustel de Coulangers, Emile Durkheim, Max Weber, Ernst Troeltsch, Werner Sombart, Max Scheler.
c.    Metode Psikologis
Psikologi agama adalah studi mengenai aspek psikologis dari perilaku beragama, baik sebagai individu (aspek individuo-psikologis) maupun secara berkelompok/anggota-anggota dari suatu kelompok (aspek sosio-psikologis). Aspek psikologis dari perilaku beragama berupa pengalaman religius, seperti:
1)   Ketika seseorang berada dalam puncak spiritual, seperti Mi’rajnya Nabi menghadap sang Kholiq, atau ketika seseorang Muslim khusyu’ dalam sholatnya, atau orang kristiani dalam doa dan nyanyian.
2)   Ketika seseorang menerima wahyu/ ilham/ mendengarkan suara hati, ketika berkomunikasi dengan sang  Kholiq, yang ilahi dan supranatural.
Dalam metode ini dikaji aspek batin dari pengalaman agama individu maupun kelompok.  Di dalam metode ini dikaji interrelasi dan interaksi antara agama dengan jiwa manusia.Kajian psikologis ini meliputi masalah arketipus, symbol, mite, numinous, penyataan (wahyu), iman, pertobatan, revival, suara hati, keinsafan dosa, perasaan bersalah, pengakuan dosa, pengampunan, kekhawatiran, kebimbangan, penyerahan diri, kelepasan, askese, kesucian, mistik, meditasi, kontemplasi, ekstase, orang-orang introvert agama, orang-orang ekstrovert agama, kehidupan jiwa orang-orang psikose, psikopati, neurose, dan sebagainya.  
Beberapa contoh dari penggunaan metode psikologis misalnya: kajian agama yang dilakukan oleh J. M. Charcot dan P. Janet. Mereka menyimpulkan bahwa agama dapat dijabarkan terutama kepada neurose dan histeri. Sigmund Freud menyimpulkan bahwa agama harus dipandang sebagai suatu gejala dari tahun-tahun masa kecil yang hidup terus dalam kedewasaan, suatu ketidakdewasaan yang kolektif, suatu simtom neurotis, suatu impian, suatu illusi. W. Wund berpendapat bahwa agama ditinjau dari segi asal-usulnya merupakan gejala yang berhubungan dengan kehidupan jiwa bangsa, bukan kehidupan jiwa individu. William James menyimpulkan bahwa orang healthy minded soul dapat mengembangkan diri secara selaras, sedang orang yang sick soul bersifat pesimistis dan bertabiat melankolis. Gordon Allport membagi masyarakat religius ke dalam tipe instrinsik dan ekstrinsik. Starbuck mengkaji tentang fenomena konversi keagamaan. Leube di samping mengkaji tentang konversi keagamaan juga tentang pengalaman mistik.
Beberapa sarjana yang mengkaji agama secara psikologis antara lain S. Freud, W. James, Gordon Allport, Carl Jung, Edwin Starbuck, Charcox, Ribot, Janet, Smityh and Fowler, Vande Kemp.

d.   Metode Antropologis
Sosiologi dalam sejarahnya digunakan untuk mengkaji masyarakat modern, sementara antropologi mengkhususkan diri terhadap masyarakat primitif. Antropologi sosial agama berkaitan dengan soal-soal upacara, kepercayaan tindakan dan kebiasaan yang tetap dalam masyarakat sebelum mengenal tulisan yang menunjuk pada apa yang dianggap suci dan supranatural. Sekarang terdapat kecenderungan antropologi tidak hanya digunakan untuk meneliti masyarakat primitif, melainkan juga masyarakat yang komplek dan maju menganalisis simbolisme dalam agama dan mitos, serta mencoba mengembangkan metode baru yang lebih tepat untuk studi agama dan mitos. Antropologi agama memandang agama sebagai fenomena kultural dalam pengungkapannya yang beragam khususnya tentang kebiasaan, peribadatan dan kepercayaan dalam hubungan-hubungan sosial.
Metode ini memandang agama dari sudut pandang budaya manusia.[10] Asal-usul dan perkembangan agama dikaitkan dengan budaya manusia. Biasanya metode ini berjalan sejajar dengan aliran-aliran yang ada dalam antropologi. Misalnya aliran evolusionisme, fungsionalisme, strukturalisme.
Contoh dari penggunaan metode antropologis ini misalnya: Kajian E.B. Taylor dalam bukunya Primitive Culture, yang menyimpulkan bahwa menurut evolusi asal-usul agama adalah animisme. Berikutnya Andrew Lang dalam bukunya The Making of Religion menyimpulkan bahwa awal agama adalah kepercayaan kepada dewa yang tertinggi. Akhirnya James Frazer dalam bukunya The Golden Bough menyimpulkan bahwa magi merupakan agama yang tertua. Marett dalam bukunya The Threshold of Religion menyimpulkan bahwa pangkal religi adalah suatu emosi atau suatu getaran jiwa yang timbul karena kekaguman manusia terhadap hal-hal dan gejala-gejala tertentu yang sifatnya luar biasa.
Beberapa sarjana yang mengkaji agama dengan metode antropologis antara lain: Edward B. Tylor, Andrew Lang, James George Frazer, Robert R. Marett, Wilhelm Schmidt, Arnold vn Gennep, Bronislaw Malinowski, Robert H. Lowie.
e.    Metode Fenomenologis
Metode ini mengkaji agama dari segi esensinya. Dalam metode ini pengkaji agama berusaha mengenyampingkan hal-hal yang bersifat subyektif. Pengkaji agama berusaha mengkaji agama menurut apa yang difahami oleh pemeluknya sendiri, bukan menurut pengkaji agama.
Cara kerja metode ini adalah mengklasifikasi, menamai, membandingkan dan melukiskan gejala agama dan gejala-gejala agamani tersendiri dengan tidak memberikan penilaian tentang nilai, kenyataan dan kebenaran agama dan gejala-gejala agama tersendiri, tetapi menyerahkannya kepada filsafat agama dan teologi sistematis. Filsafat agama akan menilainya dalam terang akal-budi yang murni, sedang teologi sistematis akan menilainya dalam Penyataan Ilahi atau Wahyu.
Contoh dari metode fenomenologis ini misalnya Rudolf Otto dalam bukunya The Idea of the Holy mengkaji tentang yang kudus (holy). Gerardus van der Leeuw dalam bukunya Religion in Essence and Manifestation mengkaji tentang obyek agama, subyek agama dan obyek dan subyek agama dalam hubungannya satu dengan lainnya. Mariasusai Dhavamony dalam bukunya Phenomenology of Religion mengkaji bentuk-bentuk primitif agama, obyek agama, agama dan pengungkapannya, pengalaman religius, dan tujuan agama. Annemarie Schimmel dalam bukunya Deciphering the Signs of God: A Phenomenological Approach to Islam menkaji hal-hal yang suci dalam Islam: alam dan kebudayaan yang suci, ruang dan waktu yang suci, tindakan yang suci, firman dan kitab suci, individu dan masyarakat suci, Tuhan dan ciptaan-Nya.
Beberapa sarjana yang mengkaji agama dengan metode fenomenologis antara lain: Ninian Smart, G. Widrengen, Friedrich Heiler, Gustav Mensching, W. Brede Kristensen, C.J. Bleeker, R. Otto, dan Gerardus van der Leeuw. Di sini tampaklah beberapa sarjana yang di samping mengkaji agama secara fenomenologis juga historis, yaitu C.J. Bleeker dan G.Widrengen. Hal ini logis, karena metode fenomenologis lahir dari ibu kandung metode historis.
f.      Metode Typologis
Metode ini mengkaji agama atau gejala-gejala agama dengan membuat tipe-tipe tertentu. Di sini gejala-gejala agama yang ruwet disusun dengan tipe-tipe ideal. Dalam metode ini disusunlah tipe-tipe mistik, teologi, peribadatan, kharisma agama, pemimpin agama, kekuatan agama, kelompok-kelompok agama, kejiwaan pemeluk agama.
Beberapa sarjana yang menggunakan metode tipologis ini misalnya: Max Weber, Howard Becker, Wiliiam James, Wilhelm Dilthy, Herder.
g.    Komparatif
Dalam metode ini agama secara umum atau gejala-gejala agama (unsur-agama) diperbandingkan satu dengan lainnya. Ada beberapa cara dalam membandingkan ini. Menurut Ake Hultkranz, yang dibandingkan adalah fungsi-fungsi unsur agama dalam konteks budaya. Menurut O. Lewis, perbandingan bisa berupa perbandingan terbatas maupun perbandingan tak terbatas. Menurut Platvoet, perbandingan dapat berupa agama-agama sebagai keseluruhan maupun perbandingan gejala-gejala yang bersamaan di dalam agama-agama. Adapun van Baaren dan Leertouver membedakan antara perbandingan transkultural dengan perbandingan kontekstual. Dalam perbandingan transkultural perhatian ditujukan kepada pada cara dan unsur-unsur agama yang dianggap oleh penganut agama tersebut berbeda dengan cara dan unsur agama orang luar. Sedang dalam perbandingan kontekstual agama atau unsur agama dibandingkan dalam situasi konteks agama dan kebudayaan masing-masing. Akhirnya Ake Hulkrantz juga menunjukkan perbandingan melalui prinsip-prinsip sejarah, fungsional, struktural.
Berdasarkan beberapa metode yang digunakan dalam Ilmu Perbandingan Agama di atas (historis, sosiologis, psikologis, antropologis, fenomenologis, typologies, dan komparatif) jelaslah bahwa Ilmu Perbandingan Agama bukan sekedar membanding-bandingkan agama. Ilmu Perbandingan Agama lebih merupakan ilmu yang mengkaji agama secara luas yang bersifat ilmiah atau scientific.

6.    Manfaat Ilmu Perbandingan Agama
Ilmu Perbandingan Agama mempunyai banyak guna dan manfaat bagi semua orang yang mempelajarinya terutama seorang Muslim. Adapun beberapa manfaatnya adalah sebagai berikut:
a.    Dengan menguasai Ilmu Perbandingan Agama seseorang akan lebih mudah melakukan dialog dengan pemeluk agama lain.[11]
b.    Dapat memahami kehidupan batin, alam pikiran dan kecenderungan hati dari berbagai umat manusia.
c.    Dengan mengetahui agama-agama lain seorang Muslim dapat mencari persamaan-persamaan (lebih tepat kesejajaran-kesejajaran) antara agama Islam dengan agama-agama lain. Dengan demikian dapat membuktikan di mana letak keunggulan agama Islam dibandingkan agama-agama lain. Selanjutnya dapat mengetahui bahwa agama-agama sebelum Islam itu sebagai pengantar terhadap kebenaran yang lebih luas dan lebih penting, yaitu agama Islam.
d.   Dengan membandingkan agama Islam dengan agama-agama lain dapat menimbulkan rasa simpati terhadap orang-orang yang belum mendapatkan petunjuk tentang kebenaran. Selanjutnya akan menimbulkan rasa tanggung jawab untuk menyiarkan kebenaran-kebenaran yang terkandung dalam agama Islam kepada masyarakat luas.
e.    Dengan mengetahui ajaran-ajaran agama lain seorang Muslim dapat lebih baik dalam berdakwah. Sebab ia dapat lebih baik dalam menentukan metode, materi, konsep-konsep, strategi, sesuai dengan sasarannya.
f.     Selanjutnya dengan memahami ajaran-ajaran agama lain seorang Muslim akan lebih mudah toleran dan hidup rukun dengan orang yang beragama lain. Akibat lebih jauh dengan adanya kerukunan hidup beragama itu para pemeluk agama-agama dapat saling bersatu untuk perdamaian dunia, mengentaskan kemiskinan, membangun bangsanya atau dunia, memerangi kejahatan, meninggikan moral, dan sebagainya.
Perbandingan Agama-pun dapat dijadikan sebagai ilmu bantu atau alat untuk dakwah. Sebagaimana Ilmu Filsafat dan Logika dapat dipakai oleh para Mutakallimin untuk membela agama Islam, karena musuh-musuh Islam-pun menggunakan Ilmu Filsafat dan Logika untuk menyerang Islam, demikian juga Ilmu Perbandingan Agama dapat digunakan oleh para dai untuk berdakwah. Dalam hal ini “ilmu bukan untuk ilmu,” lebih khusus lagi “Ilmu Perbandingan Agama bukan hanya untuk Ilmu Perbandingan Agama,” tetapi ilmu atau lebih khusus lagi Ilmu Perbandingan Agama, untuk ibadah, khususnya ibadah dalam bidang dakwah.

C.  KESIMPULAN
Dari Uraian diatas dapat diterik kesimpulan sebagai berikut:
1.    Ilmu Perbandingan Agama merupakan ilmu yang mempelajari tentang agama, sistem keyakinan, peribadatan, dan kelembagaan agama secara ilmiah
2.    Obyek Ilmu Perbandingan Agama yaitu Pengalaman agama yang diungkapkan dalam pikiran berupa keyakinan, pengalaman agama yang diungkapkan dalam tindakan berupa peribadatan, pengalaman agama yang diungkapkan dalam kelompok atau kelembagaan.
3.    Perkembangan Ilmu Perbandingan Agama di Barat lebih menguntungkan  dibandingkan di Dunia Islam dan di Indonesia. Perkembangan di Barat lebih menguntungkan karena didukung oleh suasana ilmiah yang kondusif dan dana yang cukup tersedia. Perkembangan di dunia Islam dan di Indonesia kurang menguntungkan di samping kurang kondusifnya suasana ilmiah juga masih kekurangan dana dan juga faktor-faktor fundamental lainnya.
4.    Aliran-aliran dalam Ilmu Perbandingan Agama yaitu monoteisme, politeisme dan panteisme.
5.    Metode-metode dalam penelitian Ilmu Perbandingan Agama ada 7, diantaranya yaitu: Historis, Sosiologis, Psikologis, Antropologi, Fenomenologis, Typologis, Komparatif.
6.    Ilmu Perbandingan Agama sangat bermanfaat bagi seorang Muslim, sebab dengan mempelajarinya dapat memahami agama-agama  lain baik  ajaran-ajarannya maupun perkembangan penafsiran dan lembaganya secara empiris. Selanjutnya dapat menemukan mutu manikam keunggulan ajaran Islam setelah dibandingkan dengan agama-agama lain. Akhirnya dapat digunakan sebagai dialog, kerukunan hidup beragama dan dakwah.
DAFTAR RUJUKAN

Ali, A. Mukti. 1975. Ilmu Perbandingan Agama (Sebuah Pembahasan tentang Methodos dan Sistema). Yogyakarta.
___________. 1998. Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia. Bandung.
Ali, Sayuti. 2000. Metodologo Penelitian Agama Dan Pendekatan Teori Dan Praktek. Jakarta: Rajawali Press.
Daradjat, Zakiah. 1996. Perbandingan Agama. Jakarta: Bumi Aksara.
Daya, Burhanuddin dan Herman Leonard Beck (ed). 1990. Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia dan Belanda (Beberapa Permasalahan). Jakarta:
_____________. 1992. Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia dan Belanda. Jakarta.
Harsojo. 1984. Pengantar Antropologi. Jakarta.
Hendropuspito, D. 1986. Sosiologi Agama. Yogyakarta.
Jongeneel, J.A.B. 1978. Pembimbing ke dalam Ilmu Agama dan Teologi Kristen Pembimbing Umum Pembimbing ke dalam Ilmu Agama, I. Jakarta.
Koentjaraningrat. 1980. Sejarah Teori Antropologi, I. Jakarta.
Wach, Joachim. 1992. IlmuPerbandingan Agama; Inti dan Bentuk Pengalaman Keagamaan. Jakarta: Rajawali Press.



[1] Daya dan Beck. Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia dan Belanda (Beberapa Permasalahan).(Jakarta, 1990). Hlm. 126
[2] A. Mukti Ali, . Ilmu Perbandingan Agama (Sebuah Pembahasan tentang Methodos dan Sistema).(Yogyakarta, 1975).  Hlm. 5
[3] Ibid. Hlm. 7
[4] Joachim Wach. IlmuPerbandingan Agama; Inti dan Bentuk Pengalaman Keagamaan. (Jakarta, Rajawali Press 1996). Hlm. 97
[5] A. Mukti Ali. Op.Cit., Hlm. 11-14.
[6] A. Mukti Ali. Op.Cit., Hlm. 15-19
[7] A. Mukti Ali. Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia.(Bandung, 1998). Hlm. 17-21
[8]Jongeneel, J.A.B. Pembimbing ke dalam Ilmu Agama dan Teologi Kristen Pembimbing Umum Pembimbing ke dalam Ilmu Agama,I. (Jakarta, 1978). Hlm. 51
[9] D. Hendropuspito. Sosiologi Agama. (Yogyakarta, 1986). Hlm. 85
[10] Harsojo. Pengantar Antropologi. (Jakarta.1984). Hlm. 221

[11] A. Mukti Ali. Op.Cit., Hlm.84


Download Doc
Download PDF

1 comment: