A. PENDAHULUAN
Ilmu agama sejak kemunculannya sebagai suatu disiplin
keilmuan pada akhir abad ke-19, setahap demi setahap melengkapi identitas
dirinya dengan ciri-ciri khas yang memperkuat dan memperjelas status sebagai
pengetahuan ilmiah atau ilmu. Objek kajiannya yaitu meliputi semua agama-agama, baik agama pada masa lalu
maupun pada masa sekarang. Sedangkan teologi pada dasarnya hanya mengkaji satu
agama tertentu saja, yaitu agama yang di yakini kebenarannya. Jika mempelajari
agama lain itupun menggunakan norma agama yang di yakini kebenarannya.
Seiring dengan berkembangnya ilmu agama munculah ilmu perbandingan agama yang bertujuan untuk memahami agama-agama yang diteliti secara ilmiah. Ilmu perbandingan agama adalah ilmu yang mempelajari tentang agama, sistem keyakinan, pribadatan, dan kelembagaan agama secara ilmiah dengan pendekatan holistik (secara menyeluruh, beragam). Secara ilmiah berarti ilmu perbandingan agama kajiannya terhadap agama yang bersifat indukatif karena kajian terhadap agama dengan menggunakan pendekatan-pendekatan ilmu-ilmu lain, dan standar yang di gunakan secarah ilmiah artinya melihat gejala agama secara objektif maksudnya yang bersifat intersubjektif artinya kesinambungan antara doktrin agama dan teori ilmiah (sui generis cum doktrinner). Kemudian perbandingan bermakana sebagai aproach yang berarti metode, pendekatan dan teori bukan agamanya yang dibandingkan.
Dalam pekembangannya Ilmu Perbandinghan Agama sering
menimbulkan salah pengertian. Pertama, seseorang sering memahami Ilmu
Perbandingan Agama sebagai ilmu yang hanya membandingkan antara agama yang satu
dengan agama lain. Padahal tujuan dari Ilmu Perbandingan Agama bukan sekedar
membanding-bandingkan, tetapi lebih luas dari itu. Bahkan seorang sering mengira
bahwa tugas Ilmu Perbandingan Agama adalah menilai kesalahan-kesalahan agama
lain. Padahal menilai kesalahan-kesalahan agama lain bukanlah tugas dari Ilmu
Perbandingan Agama, tetapi tugas dari Ilmu Kalam atau Teologi Islam. Kedua,
seseorang dengan apriori mengangap bahwa Ilmu Perbandingan Agama mendangkalkan
aqidah. Sebab seseorang mengira bahwa dengan mempelajari Ilmu Perbandingan
Agama akan mengurangi keyakinan agama Islam. Padahal justru dengan mempelajari Ilmu
Perbandingan Agama seorang Muslim akan semakin menemukan mutu-manikam
keunggulan ajaran agama Islam dibandingkan ajaran agama lain. Mutu-manikam
keunggulan ajaran Islam kurang tampak kalau tidak dibandingkan dengan ajaran
agama lain, tetapi justru tampak cemerlang setelah dibandingkan dengan ajaran
agama lain.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dalam
karangan ini akan dikaji Ilmu Perbandingan Agama secara seksama meskipun dengan
ringkas. Dengan demikian dapat mengurangi atau menghilangkan beberapa
sakwasangka tentang Ilmu Perbandingan Agama. Oleh karena itu pada makalah ini
akan dibahas pengertian dan nama-nama Ilmu Perbandingan Agama, obyek Ilmu
Perbandingan Agama, aliran dalam Ilmu Perbandingan
Agama, metode-metode Ilmu Perbandingan Agama, perkembangan
Ilmu Perbandingan Agama, dan manfaat dan guna Ilmu Perbandingan Agama.
B. PEMBAHASAN
1. Pengertian Ilmu Perbandingan Agama
Ilmu perbandingan agama adalah ilmu yang mempelajari
tentang agama, sistem keyakinan, pribadatan, dan kelembagaan agama secara
ilmiah dengan pendekatan holistik (secara menyeluruh, beragam).
Ilmu perbandingan agama mempunyai beberapa nama yaitu
: Allgemeine Religionswissenschaft, Science of Religions, The
History of Religions, Comparative Studies of Religion, Phenomenology
of Religion, Historical Phenomenology, The Study of World
Religions, Systematic Science of Religion, ergleichende
Religionswissenschaft, Fenomenologi Agama.[1]
Mukti Ali berpendapat bahawa ilmu perbandingan agama
adalah salah satu cabang ilmu pengetahuan yang berusaha untuk memahami
gejala-gejala keagamaan dari suatu kepercayaan (agama) dalam hubungan dengan
agama lain. Pemahaman ini mencakup persamaan dan perbedaannya. Selanjutnya
dengan pembahasan tersebut, struktur yang asasi dari pengalaman keagamaan
manusia dan pentingnya bagi hidup dan kehidupan di pelajari dan dinilai.[2]
Berdasarkan nama-nama lain dari Ilmu Perbandingan
Agama di atas, jelaslah bahwa Ilmu Perbandingan Agama tidak hanya
membanding-bandingkan agama saja, tetapi juga melakukan kajian historis,
fenomenologis, atau secara umum melakukan kajian yang bersifat ilmiah atau
scientific. Hal itu akan semakin jelas setelah dibahas mengenai metode-metode
yang digunakan dalam Ilmu Perbandingan Agama.
2.
Obyek Kajian
Ilmu Perbandingan Agama
Mukti Ali menjelaskan bahwa obyek Ilmu Perbandingan
Agama adalah pertanyaan-pertanyaan yang bersifat fundamental dan universal dari
tiap-tiap agama. Beberapa pertanyaan tersebut akan akan dijawab sesuai dengan
ajaran agama masing-masing. Beberapa pertanyaan yang bersifat fundamental dan
universal tersebut antara lain: apakah konsepsi agama tentang Tuhan? Apakah
konsepsi agama tentang manusia? Apakah konsepsi agama tentang dosa dan pahala?
Apakah hubungan kepercayaan dengan akal? Bagaimanakah hubungan antara agama
dengan etika? Apakah fungsi agama dalam masyarakat?, dan lain sebagainya.[3]
Joachim Wach dari sudut pandang yang lain, berpendapat
bahwa obyek Ilmu Perbandingan Agama adalah pengalaman agama. Menurut Joachim
Wach pengalaman agama berbeda dengan pengalaman psikis biasa. Pengalaman agama
mempunyai beberapa kriteria tertentu.
Pertama, pengalaman agama merupakan suatu
tanggapan terhadap apa yang dihayati sebagai Realitas Mutlak.
Kedua, pengalaman agama merupakan
tanggapan yang menyeluruh atau utuh (akal, perasaan, dan kehendak hati) manusia
terhadap Realitas Mutlak.
Ketiga, pengalaman agama merupakan
pengalaman yang paling kuat, menyeluruh, mengesankan, dan mendalam dari
manusia.
Keempat, pengalaman agama merupakan
pengalaman yang menggerakan untuk berbuat. Pengalaman tersebut mengandung
imperatif, menjadi sumber motivasi dan perbuatan yang tak tergoyahkan.
Pengalaman agama yang subyektif ini diekspresikan atau
diungkapkan dalam tiga ekspresi, yaitu:
a.
Pengalaman
agama yang diungkapkan dalam pikiran, berupa: , doktrin, dan dogma. Pengalaman
agama ini dapat berbentuk symbol, oral, dan tulisan.
b.
Pengalaman agama
yang diungkapkan dalam tindakan, berupa kultus (peribadatan) dan
pelayanan. Peribadatan sebagai tanggapan terhadap Realitas Mutlak harus
dilakukan di mana, kapan, bagaimana caranya, dan oleh siapa? Apakah ibadah itu
harus dilakukan sendiri-sendiri atau secara berjamaah? Termasuk dalam uangkapan
perbuatan ini adalah kurban dengan segala seluk-beluknya.
c.
Pengalaman agama
yang diungkapkan dalam kelompok, berupa -kelompok keagamaan (Ecclesia
atau Gereja, Kahal, Ummah, Sangha)[4]
Ketiga ekpresi pengalaman agama di atas (pikiran,
tindakan, dan kelompok) yang menjadi obyek Ilmu Perbandingan Agama meliputi
semua agama yang ada dan aliran-alirannya.
3. Sejarah Pertumbuhan Dan Perkembangan
Ilmu Perbandingan Agama
a. Perkembangan di Dunia Barat
Di Barat Herodotus (481 SM), beroros (250 SM), Cicero
(106-38 SM), Sallustius (86-34 SM) telah memberikan sketsa tentang sejarah
berbagai agama dan menggambarkan adat kebiasaan bangsa-bangsa lain yang
diketahuinya pada waktu itu. Strabo (63 SM – 21 M) telah menulis dengan kritis
agama-agama di dunia Timur. Ia diikuti oleh Varro (116-27 SM) dan Tacitus
(55-117 M).
Selanjutnya beberapa penulis Kristen apologis pada
abad-abad pertama seperti Aristides telah memberikan interpretasi tentang
hubungan antara agama kafir, Yahudi dan Kristen. Berikutnya Clement dari
Alexandria (202 M) menulis tentang agama Buddha. Saxo (1220 M) dan Snorri
(1241) menulis tentang agama-agama di Eropa Utara.
Marco Polo (1254-1324 M) yang telah menjelajahi Asia
Tengah pada tahun 1271 dan Negeri Tiongkok pada tahun 1275 telah menulis
tentang agama-agama Timur di Eropa pada masa itu.
Pada masa Reformasi dan Renaissanse, Erasmus
(1469-1536 M) menulis tentang elemen-elemen agama kafir yang terdapat dalam
peribadatan agama Roma Katolik dan ajaran-ajarannya. Kemudian diikuti oleh
Toland dalam bukunya Christianity not Mysterius (1696).
Sejalan dengan semangat Rasionalisme, maka mulailah
teori evolusi tentang asal-usul agama, dengan menolak adanya revelation
(wahyu). Hal ini tampak dalam bukunya David Hume dengan judul Natural History
of Religion (1757) dan dalam bukunya Voltair berjudul Essay (1780).
Selanjutnya diikuti dengan penelitian agama yang
historis dari Duperon tentang agama Persia; William Jones tentang agama
Sanskrit; Champollion tentang agama Mesir Lama; Rask tentang agama Persia dan
India; Niebuhr, Botta, Layard dan lainnya menulis tentang agama Babilonia.
Kemudian Ernest Renan (1822-1892) menjadi orang pertama yang menciptakan
istilah “Comparative Study of Religion.
Sebelum penutup abad ke-19 sudah terdapat ahli-ahlinya
di Belanda, Switzerland, Perancis, Italia, Denmark, Belgia dan Amerika. Setelah
itu diterbitkanlah beberapa buku, majalah, dan diadakan beberapa konggres internasional.
Namun Ilmu Perbandingan Agama dalam arti yang sebenarnya lahir pada saat Max
Muller (1823-1900) menulis beberapa karangannya tentang agama-agama. Oleh
karena itu Max Muller dapat disebut sebagai bapak Ilmu Perbandingan Agama.[5]
Ilmu Perbandingan Agama di Barat dapat berkembang
dengan baik karena didukung oleh suasana dan semangat ilmiah yang baik dan dana
yang memadai.
b.
Perkembangan
di Dunia Islam
Pada abad ke-11 tampil Ibn Hazm (994-1064), salah
seorang penulis besar dalam Islam, telah menulis kitab sekitar 400 jilid
tentang sejarah, teologi, hadits, logika, syair, dsb. Kitabnya yang berkaitan
dengan agama lain ialah Al-Fasl fil-Milal wal-Ahwa’ wan-Nihal. Di dalam
kitab tersebut Ibn Hazm membahas tentang agama Kristen dan Kitab Bible.
Kemudian salah seorang penulis Muslim terkemuka,
Muhammad Abdul Karim Asy-Syahrastani (1071-1143) menulis Kitab Al-Milal
wan-Nihal (1127). Di dalam kitab tersebut ia membagi agama menjadi: Islam, Ahlul
Kitab dan orang yang mendapatkan wahyu tetapi tidak tergolong Ahlul Kitab,
yaitu orng-orang yang bebas berpikir dan ahli-ahli filasafat.
Namun haruslah diakui bahwa perkembangan
pebandingan agama di dunia Islam tidak luput dari apologi. Tulisan yang bersifat apologis ini tampak dalam
tulisan Ahmad as-Sanhaji Qarafi (meninggal 1235) dalam bukunya Al-Ajwibah
al-Fakhirah an al-As’ilah al-Fajirah. Kitab ini merupakan jawaban
terhadap buku Risalah ila Ahad al-Muslimin yang dikarang oleh
Uskup dari Sidon. Muhammad Abduh menulis buku Al-Islam wan Nashraniyah
ma’al ‘ilmi wal-Madaniyah, sebagai jawaban terhadap tulisan-tulisan Farah
Antun dalam Al-Jami’ah. Masih banyak beberapa tulisan dari penulis
Muslim yang bersifat apologis
misalnya Husain Hirrawi, Syaikh
Yusuf Nabbani, Ahmad Maliji, Muhammad Ali Maliji, Abdul Ahad Dawud, dsb. Di
sini perlulah disebut karangan apologis
yang sangat baik, yaitu buku The Spirit of Islam, karangan
Ameer Ali.
Perkembangan Ilmu Perbandingan Agama di dunia Islam
kurang menguntungkan dibandingkan dengan Barat. Sebagian besar kitab yang
dikarang oleh penulis Muslim bersifat apologis. Patut diperhatikan juga bahwa
pada abad ke-19 beberapa Negara Islam dalam cengkeraman penjajahan Negara
Barat, sehingga perhatian dipusatkan untuk pembebasan atau kemerdekaan
negaranya dari penjajahan.[6]
c.
Perkembangan
di Indonesia
Di Indonesia Ilmu Perbandingan Agama mulai diajarkan
di Fakultas Ushuluddin Jurusan Perbandingan Agama IAIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta pada tahun 1961, atau satu tahun setelah berdirinya IAIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta. Pada tahun 1964 terbitlah buku pertama tentang Ilmu
Perbandingan Agama yang ditulis oleh Dr. A. Mukti Ali dengan judul Ilmu
Perbandingan Agama (Sebuah Pembahasan tentang Methodos dan Sistema).
Setelah seperempat abad lamanya belum terbit lagi buku Ilmu Perbandingan Agama
yang membahas tentang metode dan sistema. Baru pada tahun 1986 terbitlah buku
Ilmu Perbandingan Agama yang membahas tentang metode dan sistema yang dikarang
oleh pengarang yang sama (Dr. A. Mukti Ali) dengan judul Ilmu Perbandingan
Agama di Indonesia.
Ilmu Perbandingan Agama kurang berkembang di Indonesia
karena kurang anggaran/dana, minimnya pertemuan ilmiah, dan kurang informasi
tentang Ilmu Perbandingan Agama baik mengenai isinya maupun manfaatnya bagi
kerukunan hidup beragama maupun untuk integrasi bangsa Indonesia.
Secara garis besar dapatlah disimpulkan bahwa Ilmu Perbandingan
Agama di Indonesia kurang berkembang dengan baik. Adapun sebab-sebabnya antara
lain sebagai berikut:
1)
Kekurangan
bacaan ilmiah.
2)
Kekurangan
kegiatan penelitian secara ilmiah.
3)
Kekurangan
diskusi akademis.
4)
Masih
rendahnya penguasaan bahasa asing dari sebagian besar para mahasiswa dan dosen,
padahal hanya sedikit buku Ilmu Perbandingan Agama yang ditulis dalam bahasa
Indonesia yang membahas secara analitis.
Di samping
itu ada beberapa sebab yang bersifat fundamental yang menyebabkan Ilmu
Perbandingan Agama kurang berkembang di Indonesia, yaitu:
1)
Pemikiran
ulama di Indonesia tentang Islam lebih banyak menekankan bidang fikih yang
bersifat normatif.
2)
Setelah
pemberontakan PKI, Isalm di Indonesia lebih banyak menekankan semangat dakwah,
sehingga ilmu yang ditekankan ialah Ilmu Dakwah atau Missiologi.
3)
Karena Ilmu
Perbandingan Agama lahir dari Barat sehingga menyebabkan salah sangka dan
curiga di kalangan umat Islam.
4)
Para peserta
kuliah Ilmu Perbandingan Agama kurang menguasai ilmu-ilmu bantu (Sejarah, Sosiologi,
Antropologi, Arkeologi, dan sebagainya). Di samping itu mereka kurang menguasai
bahasa asing.[7]
4. Aliran Dalam Ilmu Perbandingan Agama
a.
Politeisme
Sistem politeistik: Polytheisme
(kepercayaan banyak tuhan) diperkirakan berasal dengan Hindu di sekitar 2500
SM. Keyakinan Hindu dicatat dalam Bhagavad Gita, yang mengungkapkan bahwa
banyak dewa tunduk pada dewa Brahman tertinggi. Politeisme juga agama dari
banyak kebudayaan kuno lainnya, termasuk Asyur, Babilonia, Mesir, Yunani dan Roma.
Sistem kepercayaan kuno politeistik dewa dipandang sebagai mengendalikan segala
peristiwa alam seperti curah hujan, panen dan kesuburan.
b.
Panteisme
Sistem panteistik: Panteisme
(sebuah keyakinan bahwa semua adalah Tuhan) berlaku di banyak budaya kuno.
Kepercayaan bahwa alam semesta itu sendiri ilahi dilambangkan dalam kepercayaan
Animisme dari budaya India Afrika dan Amerika, agama kemudian Mesir di bawah
Pharoahs, dan Buddhisme, Konfusianisme dan Taoisme dalam budaya Timur Jauh.
Kepercayaan panteistik juga menemukan kebangkitan di antara berbagai gerakan
New Age. Umumnya, panteisme adalah prinsip bahwa Tuhan adalah segalanya, dan
semuanya adalah dewa.
c.
Monoteisme
Sistem monoteistik
yaitu Tauhid (keyakinan pada satu Tuhan) adalah dasar dari garis
Yahudi-Kristen-Islam agama, yang dimulai dengan seorang pria bernama Abraham di
sekitar 2000 SM. Dari titik ini dalam sejarah, Tuhan mulai menyatakan diri-Nya
kepada dunia melalui bangsa Israel. Kitab Suci Yahudi catatan perjalanan orang
Israel dari budak di Mesir ke "tanah perjanjian" di Kanaan di bawah
kepemimpinan Musa. Selama jangka waktu sekitar 1500 tahun, Allah mengungkapkan
apa yang menjadi Perjanjian Lama dari Alkitab. Selama periode Kekaisaran
Romawi, Yesus Kristus dilahirkan di Betlehem. Setelah kenaikan Kristus ke
surga, gereja Kristen tumbuh dalam nama-Nya dan Perjanjian Baru ditulis.
Sekitar 600 tahun kemudian, Muhammad mulai berkhotbah di Mekah. Muhammad
percaya bahwa ia adalah nabi akan Allah, dan ajaran-ajarannya menjadi ajaran
Islam seperti yang tercatat dalam Al Qur'an.
5. Metode-Metode Ilmu Perbandingan Agama
Ada beberapa
metode yang digunakan dalam Ilmu Perbandingan Agama. Metode-metode tersebut
ialah:
a.
Metode
Historis
Agama yang
dikaji dalam metode ini bukan hanya agama secara keseluruhan, tetapi juga dapat
dikaji aliran-aliran tertentu dari suatu agama maupun tokoh-tokoh tertentu dari
suatu agama dalam periode tertentu dalam sejarah. Dalam metode ini agama dikaji
dari segi atau aspek periodesasi dan saling pengaruh antara agama yang satu
dengan agama lainnya. Di sini dikaji asal-usul dan pertumbuhan pemikiran dan
lembaga-lembaga agama melalui periode-periode perkembangan sejarah tertentu,
serta memahami peranan kekuatan-kekuatan yang diperlihatkan oleh agama dalam
periode tersebut.
Bahan dalam
kajian in biasanya mempergunakan bahan primer dan sekunder, baik yang bersifat
literer (filologis) atau non-literer (arkeologis).[8]
Bila gejala
keagamaan terjadi dimasa lampau dan peneliti berminat mengetahuinya, maka
peneliti dapat melakukan penelitian sejarah yakni melakukan rekonstruksi
terhadap fenomena masa lampau baik gejala keagamaan yang terkait dengan masalah
politik, sosial, ekonomi dan budaya. Bagaimana peran pesantren dan kiyai dalam
melakukan perlawanan terhadap tentara belanda dalam agresi militer kedua (tahun
1984)?. Sejarah ini belum terlalu lama berlalu sehingga masih banyak saksi
hidup. Karena itu, untuk merekonstruksinya, peneliti dapat melakukan wawancara
mendalam dengan pelaku sejarah dan saksi hidup. Juga dapat melakukan telaah
kepustakaan, seperti Koran, majalah, arsip, dokumen-dokumen pribadi dan lain
sebagainya.
Para sarjana
yang mempergunakan metode historis ini antara lain: C.J. Bleeker, G. Widrengen,
A. Reviolle, A. Bertholet dan Fr. M.
b.
Metode
Sosiologis
Dalam metode ini dikaji problem-problem agama dan masyarakat dalam hubungannya
satu sama lainnya. Banyak yang dapat dikaji dalam metode ini. Misalnya pengaruh kehidupan
masyarakat dan perubahan-perubahannya terhadap pengalaman agama dan
organisasi-organisasinya; pengaruh masyarakat terhadap ajaran-ajaran agama, praktek-praktek
agama, golongan-golongan agama, jenis-jenis kepemimpinan agama; pengaruh agama
terhadap perubahan-perubahan sosial, struktur-struktur sosial, pemenuhan atau
fustrasi kebutuhan kepribadian; pengaruh timbale balik antara masyarakat dengan
struktur intern persekutuan agama (segi keluar-masuknya jadi anggota, segi
kepemimpinannya, toleransinya, kharismanya); pengaruh gejala-gejala
kemasyarakatan (mekanisasi, industrialisasi, urbanisasi, dan sebagainya)
terhadap agama; pengaruh agama terhadap etik, hukum, negara, politik, ekonomi,
hubungan-hubungan sosial.
Beberapa
contoh dari metode sosiologis ini misalnya: kajian Emile Durkheim mengenai
hubungan totem dengan masyarakat. Menurut Emile Durkheim bentuk dan macam totem
tergantung pada bentuk masyarakat. Dalam kajian lainnya ia menghubungkan antara
gejala bunuh diri dengan Katolik dan Protestan. Menurutnya gejala bunuh diri di
kalangan Katolik lebih sedikit dibandingkan di kalangan Protestan. Hal itu
terjadi karena masyarakat di kalangan Katolik lebih banyak tergantung pada tradisi,
sehingga problem-problem yang menimpa anggota-anggotanya dapat diselesaikan
melalui tradisinya. Sedang di kalangan Protestan lebih bersifat individual,
sehingga problem-problem yang menimpa anggota-anggotanya terpaksa dipecahkan
secara individual.[9]
Objek penelitian agama
dengan pendekatan sosiologi menurut Keith A. Robert memfokuskan pada:
1)
Kelompok-kelompok
dan lembaga keagamaan (meliputi pembentukannya, kegiatan demi kelangsungan
hidupnya, pemeliharaannya, dan pembubarannya).
2)
Perilaku
individu dalam kelompok-kelompok tersebut (proses sosial yang mempengaruhi
stasus keagamaan dan perilaku ritual)
3)
Konflik antar kelompok.
Beberapa
sarjana yang menggunakan metode sosiologis antara lain: Joachim Wach, Milton
Yinger, G. Le Bras, Gustav Mensching, Fustel de Coulangers, Emile Durkheim, Max
Weber, Ernst Troeltsch, Werner Sombart, Max Scheler.
c.
Metode Psikologis
Psikologi
agama adalah studi mengenai aspek psikologis dari perilaku beragama, baik
sebagai individu (aspek individuo-psikologis) maupun secara
berkelompok/anggota-anggota dari suatu kelompok (aspek sosio-psikologis). Aspek
psikologis dari perilaku beragama berupa pengalaman religius, seperti:
1)
Ketika
seseorang berada dalam puncak spiritual, seperti Mi’rajnya Nabi menghadap sang
Kholiq, atau ketika seseorang Muslim khusyu’ dalam sholatnya, atau orang
kristiani dalam doa dan nyanyian.
2)
Ketika
seseorang menerima wahyu/ ilham/ mendengarkan suara hati, ketika berkomunikasi
dengan sang Kholiq, yang ilahi dan supranatural.
Dalam metode
ini dikaji aspek batin dari pengalaman agama individu maupun kelompok. Di dalam metode ini dikaji interrelasi dan
interaksi antara agama dengan jiwa manusia.Kajian psikologis ini meliputi
masalah arketipus, symbol, mite, numinous, penyataan (wahyu), iman, pertobatan,
revival, suara hati, keinsafan dosa, perasaan bersalah, pengakuan dosa,
pengampunan, kekhawatiran, kebimbangan, penyerahan diri, kelepasan, askese,
kesucian, mistik, meditasi, kontemplasi, ekstase, orang-orang introvert agama,
orang-orang ekstrovert agama, kehidupan jiwa orang-orang psikose, psikopati,
neurose, dan sebagainya.
Beberapa
contoh dari penggunaan metode psikologis misalnya: kajian agama yang dilakukan
oleh J. M. Charcot dan P. Janet. Mereka menyimpulkan bahwa agama dapat
dijabarkan terutama kepada neurose dan histeri. Sigmund Freud
menyimpulkan bahwa agama harus dipandang sebagai suatu gejala dari tahun-tahun
masa kecil yang hidup terus dalam kedewasaan, suatu ketidakdewasaan yang
kolektif, suatu simtom neurotis, suatu impian, suatu illusi. W.
Wund berpendapat bahwa agama ditinjau dari segi asal-usulnya merupakan gejala
yang berhubungan dengan kehidupan jiwa bangsa, bukan kehidupan jiwa individu.
William James menyimpulkan bahwa orang healthy minded soul dapat
mengembangkan diri secara selaras, sedang orang yang sick soul bersifat pesimistis
dan bertabiat melankolis. Gordon Allport membagi masyarakat religius ke dalam
tipe instrinsik dan ekstrinsik. Starbuck mengkaji tentang fenomena
konversi keagamaan. Leube di samping mengkaji tentang konversi keagamaan juga
tentang pengalaman mistik.
Beberapa
sarjana yang mengkaji agama secara psikologis antara lain S. Freud, W. James,
Gordon Allport, Carl Jung, Edwin Starbuck, Charcox, Ribot, Janet, Smityh and
Fowler, Vande Kemp.
d.
Metode
Antropologis
Sosiologi dalam sejarahnya digunakan untuk mengkaji masyarakat modern,
sementara antropologi mengkhususkan diri terhadap
masyarakat primitif. Antropologi sosial agama berkaitan dengan soal-soal
upacara, kepercayaan tindakan dan kebiasaan yang tetap dalam masyarakat sebelum
mengenal tulisan yang menunjuk pada apa yang dianggap suci dan supranatural.
Sekarang terdapat kecenderungan antropologi tidak hanya digunakan untuk
meneliti masyarakat primitif, melainkan juga masyarakat yang komplek dan maju
menganalisis simbolisme dalam
agama
dan mitos, serta mencoba mengembangkan metode baru
yang lebih tepat untuk studi agama dan mitos. Antropologi agama memandang
agama sebagai fenomena kultural dalam pengungkapannya yang beragam
khususnya tentang kebiasaan, peribadatan dan
kepercayaan dalam hubungan-hubungan sosial.
Metode ini
memandang agama dari sudut pandang budaya manusia.[10]
Asal-usul dan perkembangan agama dikaitkan dengan budaya manusia. Biasanya
metode ini berjalan sejajar dengan aliran-aliran yang ada dalam antropologi.
Misalnya aliran evolusionisme, fungsionalisme, strukturalisme.
Contoh dari
penggunaan metode antropologis ini misalnya: Kajian E.B. Taylor dalam bukunya Primitive
Culture, yang menyimpulkan bahwa menurut evolusi asal-usul agama adalah animisme.
Berikutnya Andrew Lang dalam bukunya The Making of Religion menyimpulkan
bahwa awal agama adalah kepercayaan kepada dewa yang tertinggi. Akhirnya James
Frazer dalam bukunya The Golden Bough menyimpulkan bahwa magi
merupakan agama yang tertua. Marett dalam bukunya The Threshold of Religion menyimpulkan
bahwa pangkal religi adalah suatu emosi atau suatu getaran jiwa yang timbul
karena kekaguman manusia terhadap hal-hal dan gejala-gejala tertentu yang
sifatnya luar biasa.
Beberapa
sarjana yang mengkaji agama dengan metode antropologis antara lain: Edward B.
Tylor, Andrew Lang, James George Frazer, Robert R. Marett, Wilhelm Schmidt,
Arnold vn Gennep, Bronislaw Malinowski, Robert H. Lowie.
e.
Metode
Fenomenologis
Metode ini
mengkaji agama dari segi esensinya. Dalam metode ini pengkaji agama berusaha
mengenyampingkan hal-hal yang bersifat subyektif. Pengkaji agama berusaha
mengkaji agama menurut apa yang difahami oleh pemeluknya sendiri, bukan menurut
pengkaji agama.
Cara kerja
metode ini adalah mengklasifikasi, menamai, membandingkan dan melukiskan gejala
agama dan gejala-gejala agamani tersendiri dengan tidak memberikan penilaian
tentang nilai, kenyataan dan kebenaran agama dan gejala-gejala agama
tersendiri, tetapi menyerahkannya kepada filsafat agama dan teologi sistematis.
Filsafat agama akan menilainya dalam terang akal-budi yang murni, sedang
teologi sistematis akan menilainya dalam Penyataan Ilahi atau Wahyu.
Contoh dari
metode fenomenologis ini misalnya Rudolf Otto dalam bukunya The Idea
of the Holy mengkaji tentang yang kudus (holy). Gerardus van der Leeuw
dalam bukunya Religion in Essence and Manifestation mengkaji tentang obyek
agama, subyek agama dan obyek dan subyek agama dalam hubungannya satu dengan
lainnya. Mariasusai Dhavamony dalam bukunya Phenomenology of Religion
mengkaji bentuk-bentuk primitif agama, obyek agama, agama dan
pengungkapannya, pengalaman religius, dan tujuan agama. Annemarie
Schimmel dalam bukunya Deciphering the Signs of God: A Phenomenological
Approach to Islam menkaji hal-hal yang suci dalam Islam: alam dan
kebudayaan yang suci, ruang dan waktu yang suci, tindakan yang suci, firman dan
kitab suci, individu dan masyarakat suci, Tuhan dan ciptaan-Nya.
Beberapa
sarjana yang mengkaji agama dengan metode fenomenologis antara lain: Ninian Smart,
G. Widrengen, Friedrich Heiler, Gustav Mensching, W. Brede Kristensen, C.J.
Bleeker, R. Otto, dan Gerardus van der Leeuw. Di sini tampaklah beberapa
sarjana yang di samping mengkaji agama secara fenomenologis juga historis,
yaitu C.J. Bleeker dan G.Widrengen. Hal ini logis, karena metode fenomenologis
lahir dari ibu kandung metode historis.
f.
Metode Typologis
Metode ini
mengkaji agama atau gejala-gejala agama dengan membuat tipe-tipe tertentu. Di
sini gejala-gejala agama yang ruwet disusun dengan tipe-tipe ideal. Dalam
metode ini disusunlah tipe-tipe mistik, teologi, peribadatan, kharisma agama,
pemimpin agama, kekuatan agama, kelompok-kelompok agama, kejiwaan pemeluk
agama.
Beberapa
sarjana yang menggunakan metode tipologis ini misalnya: Max Weber, Howard
Becker, Wiliiam James, Wilhelm Dilthy, Herder.
g.
Komparatif
Dalam metode
ini agama secara umum atau gejala-gejala agama (unsur-agama) diperbandingkan
satu dengan lainnya. Ada beberapa cara dalam membandingkan ini. Menurut Ake
Hultkranz, yang dibandingkan adalah fungsi-fungsi unsur agama dalam konteks
budaya. Menurut O. Lewis, perbandingan bisa berupa perbandingan terbatas maupun
perbandingan tak terbatas. Menurut Platvoet, perbandingan dapat berupa
agama-agama sebagai keseluruhan maupun perbandingan gejala-gejala yang
bersamaan di dalam agama-agama. Adapun van Baaren dan Leertouver membedakan
antara perbandingan transkultural dengan perbandingan kontekstual. Dalam
perbandingan transkultural perhatian ditujukan kepada pada cara dan unsur-unsur
agama yang dianggap oleh penganut agama tersebut berbeda dengan cara dan unsur
agama orang luar. Sedang dalam perbandingan kontekstual agama atau unsur agama
dibandingkan dalam situasi konteks agama dan kebudayaan masing-masing. Akhirnya
Ake Hulkrantz juga menunjukkan perbandingan melalui prinsip-prinsip sejarah,
fungsional, struktural.
Berdasarkan
beberapa metode yang digunakan dalam Ilmu Perbandingan Agama di atas (historis,
sosiologis, psikologis, antropologis, fenomenologis, typologies, dan
komparatif) jelaslah bahwa Ilmu Perbandingan Agama bukan sekedar
membanding-bandingkan agama. Ilmu Perbandingan Agama lebih merupakan ilmu yang
mengkaji agama secara luas yang bersifat ilmiah atau scientific.
6. Manfaat Ilmu Perbandingan Agama
Ilmu
Perbandingan Agama mempunyai banyak guna dan manfaat bagi semua orang yang
mempelajarinya terutama seorang Muslim. Adapun beberapa manfaatnya adalah
sebagai berikut:
a.
Dengan menguasai Ilmu Perbandingan Agama seseorang akan lebih mudah melakukan dialog dengan pemeluk agama lain.[11]
b.
Dapat memahami
kehidupan batin, alam pikiran dan kecenderungan hati dari berbagai umat
manusia.
c.
Dengan mengetahui agama-agama lain seorang Muslim dapat mencari
persamaan-persamaan (lebih tepat kesejajaran-kesejajaran) antara agama Islam
dengan agama-agama lain. Dengan demikian dapat membuktikan di
mana letak keunggulan agama Islam dibandingkan agama-agama lain. Selanjutnya
dapat mengetahui bahwa agama-agama sebelum Islam itu sebagai pengantar terhadap
kebenaran yang lebih luas dan lebih penting, yaitu agama Islam.
d.
Dengan membandingkan agama Islam dengan agama-agama lain dapat menimbulkan
rasa simpati terhadap orang-orang yang belum mendapatkan petunjuk tentang
kebenaran. Selanjutnya akan menimbulkan rasa tanggung jawab untuk menyiarkan
kebenaran-kebenaran yang terkandung dalam agama Islam kepada masyarakat luas.
e.
Dengan mengetahui ajaran-ajaran agama lain seorang Muslim dapat lebih baik
dalam berdakwah. Sebab ia dapat lebih baik dalam menentukan metode, materi,
konsep-konsep, strategi, sesuai dengan
sasarannya.
f.
Selanjutnya
dengan memahami ajaran-ajaran agama lain seorang Muslim akan lebih mudah
toleran dan hidup rukun dengan orang yang beragama lain. Akibat lebih jauh dengan adanya kerukunan hidup beragama itu para
pemeluk agama-agama dapat saling bersatu untuk perdamaian dunia, mengentaskan
kemiskinan, membangun bangsanya atau dunia, memerangi kejahatan, meninggikan
moral, dan sebagainya.
Perbandingan
Agama-pun dapat dijadikan sebagai ilmu bantu atau alat untuk dakwah.
Sebagaimana Ilmu Filsafat dan Logika dapat dipakai oleh para Mutakallimin untuk
membela agama Islam, karena musuh-musuh Islam-pun menggunakan Ilmu Filsafat dan
Logika untuk menyerang Islam, demikian juga Ilmu Perbandingan Agama dapat
digunakan oleh para dai untuk berdakwah. Dalam hal ini “ilmu bukan untuk ilmu,”
lebih khusus lagi “Ilmu Perbandingan Agama bukan hanya untuk Ilmu Perbandingan
Agama,” tetapi ilmu atau lebih khusus lagi Ilmu Perbandingan Agama, untuk
ibadah, khususnya ibadah dalam bidang dakwah.
C. KESIMPULAN
Dari Uraian
diatas dapat diterik kesimpulan sebagai berikut:
1.
Ilmu
Perbandingan Agama merupakan ilmu yang mempelajari tentang agama, sistem
keyakinan, peribadatan, dan kelembagaan agama secara ilmiah
2.
Obyek Ilmu
Perbandingan Agama yaitu Pengalaman agama yang diungkapkan dalam pikiran berupa
keyakinan, pengalaman agama yang diungkapkan dalam tindakan berupa peribadatan,
pengalaman agama yang diungkapkan dalam kelompok atau kelembagaan.
3.
Perkembangan
Ilmu Perbandingan Agama di Barat lebih menguntungkan dibandingkan di
Dunia Islam dan di Indonesia. Perkembangan di Barat lebih menguntungkan karena
didukung oleh suasana ilmiah yang kondusif dan dana yang cukup tersedia.
Perkembangan di dunia Islam dan di Indonesia kurang menguntungkan di samping
kurang kondusifnya suasana ilmiah juga masih kekurangan dana dan juga
faktor-faktor fundamental lainnya.
4.
Aliran-aliran
dalam Ilmu Perbandingan Agama yaitu monoteisme, politeisme dan panteisme.
5.
Metode-metode
dalam penelitian Ilmu Perbandingan Agama ada 7, diantaranya yaitu: Historis,
Sosiologis, Psikologis, Antropologi, Fenomenologis, Typologis, Komparatif.
6.
Ilmu
Perbandingan Agama sangat bermanfaat bagi seorang Muslim, sebab dengan
mempelajarinya dapat memahami agama-agama lain baik
ajaran-ajarannya maupun perkembangan penafsiran dan lembaganya secara empiris.
Selanjutnya dapat menemukan mutu manikam keunggulan ajaran Islam setelah
dibandingkan dengan agama-agama lain. Akhirnya dapat digunakan sebagai dialog,
kerukunan hidup beragama dan dakwah.
DAFTAR RUJUKAN
Ali, A. Mukti. 1975. Ilmu Perbandingan Agama (Sebuah
Pembahasan tentang Methodos dan Sistema). Yogyakarta.
___________. 1998. Ilmu Perbandingan Agama di
Indonesia. Bandung.
Ali, Sayuti. 2000. Metodologo Penelitian Agama Dan
Pendekatan Teori Dan Praktek. Jakarta: Rajawali Press.
Daradjat, Zakiah. 1996. Perbandingan Agama.
Jakarta: Bumi Aksara.
Daya, Burhanuddin dan Herman Leonard Beck (ed). 1990. Ilmu
Perbandingan Agama di Indonesia dan Belanda (Beberapa Permasalahan).
Jakarta:
_____________. 1992. Ilmu Perbandingan Agama di
Indonesia dan Belanda. Jakarta.
Harsojo. 1984. Pengantar Antropologi. Jakarta.
Hendropuspito, D. 1986. Sosiologi Agama.
Yogyakarta.
Jongeneel, J.A.B. 1978. Pembimbing ke dalam Ilmu
Agama dan Teologi Kristen Pembimbing Umum Pembimbing ke dalam Ilmu Agama, I.
Jakarta.
Koentjaraningrat. 1980. Sejarah Teori Antropologi,
I. Jakarta.
Wach, Joachim. 1992. IlmuPerbandingan Agama; Inti
dan Bentuk Pengalaman Keagamaan. Jakarta: Rajawali Press.
[1] Daya
dan Beck. Ilmu
Perbandingan Agama di Indonesia dan Belanda (Beberapa Permasalahan).(Jakarta, 1990). Hlm. 126
[2] A. Mukti Ali, . Ilmu Perbandingan Agama (Sebuah
Pembahasan tentang Methodos dan Sistema).(Yogyakarta, 1975). Hlm. 5
[4] Joachim Wach. IlmuPerbandingan
Agama; Inti dan Bentuk Pengalaman Keagamaan. (Jakarta, Rajawali Press 1996).
Hlm. 97
[5] A. Mukti Ali. Op.Cit.,
Hlm. 11-14.
[6] A. Mukti Ali. Op.Cit.,
Hlm. 15-19
[8]Jongeneel,
J.A.B. Pembimbing ke dalam Ilmu Agama dan Teologi Kristen Pembimbing Umum
Pembimbing ke dalam Ilmu Agama,I. (Jakarta, 1978). Hlm. 51
ditunggu lagi postingan2 yang lain...
ReplyDelete