A. Pendahuluan
Islam
merupakan agama yang diturunkan oleh Allah Swt sebagai agama yang membawa
rahmat kepada seluruh alam juga sangat menyoroti mengenai hal-hal yang
berkaitan dengan jual beli. Dalam Islam jual beli juga dibahas secara mendetail
karena pada hakekatnya Islam bukan hanya agama yang mementingkan aspek ibadah
saja melainkan juga sangat menekankan aspek sosial (muamalah).
Jual beli (Al-Buyu’) merupakan suatu kegiatan tukar menukar
barang dengan barang lain dengan cara tertentu. Termasuk dalam hal ini adalah
jasa dan juga penggunaan alat tukar seperti uang. Jual beli ini dilakukan
dengan memindahkan hak milik kepada orang lain dengan harga, sedangkan membeli
yaitu menerimanya.
Dalam
makalah ini kami akan membahas hal-hal yang berkaitan dengan jual beli dalam
Islam. Dimulai dari pengertian jual beli itu sendiri baik secara bahasa maupun
secara istilah. Kemudian dipaparkan tentang rukun dan syarat-syarat sahnya jual
beli. Pembahasan selanjutnya mengulas tentang macam-macam jual beli baik yang
dilarang maupun yang diperbolehkan.
B. Substansi Kajian
1.
Pengertian Jual Beli
Definisi jual-beli menurut Drs. H. Ahmad Wardi
Muslich, jual-beli menurut etimologi berarti:
مُقَا بَلَةٌ شَيْئٍ بِشَيْئٍ
Tukar menukar sesuatu
dengan sesuatu yang lain
Sayyid Sabiq
Mengartikan Jual beli menurut bahasa sebagai berikut.
اَلْبَيْعُ مَعْنَاهُ لُغَةً مُطْلَقُ الْمُبَادَلَةُ
Pengertian jual
beli menurut bahasa adalah tukar-menukar secara mutlak.
Bai’ secara istilah adalah pemindahan hak milik kepada orang
lain dengan imbalan harga. Sedangkan syira’ pembelian ialah penerimaan barang
yang dijual (dengan menyerahkan harganya kepada si penjual).
Dan seringkali masing-masing dari kedua kata tersebut diartikan jual beli. Atau
juga yang dimaksud ialah tukar-menukar harta secara suka sama suka, atau
memindahkan milik dengan mendapat tukar menurut cara yang diizinkan agama.
Abu Bakar
Ad-Dimyati Al-Mishriy dalam kitabnya menyebutkan pengertian jual beli menurut Syara’ yaitu.
مقا بلة مال بمال على وجه مخصو ص
Tukar-menukar harta dengan harta dengan syarat-sayrat yang telah
ditentukan.
Dalam pengertian istilah syara’, terdapat beberapa
definisi yang dikemukakan oleh ulama’ madzhab:
a) Hanafiah.
Jual beli adalah menukar benda dengan dua mata unag (emas dan perak) dan
semacamnya atau tukar menukar barang dengan uang atau semacamnya menurut cara
yang khusus.
b) Malikiyah.
Jual beli adalah akad mu’awadloh (timbale balik) atas selain manfaat dan bukan
pula untuk menikmati kesenangan.
c) Syafi’iyah.
Suatu akad yang mengandung tukar-menukar harta dengan harta dengan syarat yang
akan diuraikan nanti untuk memperoleh kepemilikan atas benda atau manfaat untuk
waktu selamanya.
d) Hanabillah.
Jual beli adalah tukar menukar harta dengan harta, atau tukar menukar manfaat
yang mubah dengan manfaat yang mubah untuk waktu selamanya, bukan riba’ dan
bukan utang.
Jadi Buyu’ adalah
suatu akad tukar menukar barang dengan syarat-syarat yang telah ditentukan.
2. Dasar Hukum Jual-beli
Jual beli merupak akad yang dibolehkan berdasarkan
al-Qur’an, sunnah dan ijma’ para ulama’. Dilihat dari aspek hukum, jual beli
hukumnya mubah, kecuali jual beli yang dilarang oleh syara’, adapun dasar hukum
diperbolehkannya jual beli adalah sebgai Berikut.
y¨@ymr&ur ª!$# yìø‹t7ø9$# tP§ymur (#4qt/Ìh9$#
Allah Telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (Q.S.
Al- Baqarah:275).
(#ÿr߉Îgô©r&ur #sŒÎ) óOçF÷ètƒ$t6s? 4 Ÿwur §‘!$ŸÒムÒ=Ï?%x. Ÿwur Ó‰‹Îgx© 4 bÎ)ur (#qè=yèøÿs? ¼çm¯RÎ*sù 8-qÝ¡èù öNà6Î/ 3 (#qà)¨?$#ur ©!$# ( ãNà6ßJÏk=yèãƒur ª!$# 3 ª!$#ur Èe@à6Î/ >äóÓx« ÒOŠÎ=tæ ÇËÑËÈ
Dan persaksikanlah
apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit
menyulitkan. jika kamu lakukan (yang demikian), Maka Sesungguhnya hal itu
adalah suatu kefasikan pada dirimu. dan bertakwalah kepada Allah; Allah
mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.(Q.S. Al-Baqarah:282)
$yg•ƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#þqè=à2ù's? Nä3s9ºuqøBr& Mà6oY÷t/ È@ÏÜ»t6ø9$$Î/ HwÎ) br& šcqä3s? ¸ot»pgÏB `tã <Ú#ts? öNä3ZÏiB 4 Ÿwur (#þqè=çFø)s? öNä3|¡àÿRr& 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. öNä3Î/ $VJŠÏmu‘ ÇËÒÈ
Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka
sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya
Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.(Q.S. An-Nisa’: 29)
عَنْ رِفَاعَةَ بْنِ رَافِعٍ أَنَّ
اَلنَّبِيَّ صلى
الله عليه وسلم سُئِلَ:
أَيُّ اَلْكَسْبِ أَطْيَبُ؟ قَالَ: عَمَلُ
اَلرَّجُلِ بِيَدِهِ, وَكُلُّ بَيْعٍ
مَبْرُورٍ (رَوَاهُ
اَلْبَزَّارُ، وَصَحَّحَهُ اَلْحَاكِم
Dari Rifa’ah Ibnu Rafi’ r.a. bahwa
Rasulullah saw. pernah ditanya: Pekerjaan apakah yang paling baik?. Beliau
bersabda: “Pekerjaan seseorang dengan tangannya dan setiap jual-beli yang
bersih”. (HR Al-Bazzar dan dishahihkan oleh al-Hakim).
Hadits yang diriwayatkan oleh Hakim bahwa Rasulullah
ditanya, “Usaha apakah yang paling baik?” Beliau menjawab, “Pekerjaan seseorang
dengan tangannya dan setiap perdagangan yang baik”.
Perdagangan yang baik adalah perdagangan yang tidak
mengandung penipuan dan pengkhianatan.
Dari ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits yang
dikemukakan di atas dapat dipahami bahwa jual beli merupakan pekerjaan yang
halal dan mulia. Apabila pelakunya jujur, maka kedudukannya di akhirat nanti
setara dengan para Nabi, Syuhada’, dan Syiddiqiin.
3.
Rukun Jual Beli
Menurut jumhur ulama’ rukun jual beli itu ada empat,
yaitu: Penjual, pembeli, shighat, dan ma’qud ‘alaih (objek akad).
Abdur Rahman
Al-Jaziri dalam kitabnya menyebutkan rukun jual beli ada 6.
اركا ن البيع ستة : صيغة, وعاقد, ومعقود عليه, وكل منها
قسمان : لأن القاعد إما أن يكون بائعا أو مشتريا, و المعقود عليه إما أن يكون ثمنا
أو مثمنا, و الصيغة إما أن يكون إيجابا أو قبولا.
Rukun Jual Beli ada
6: Shighat, ‘Aqid, dan Ma’qud ‘Alaih, dan setiap darinya dua bagian: karena
pada ‘Aqid yaitu Penjual atau pembeli, dan ma’qud ‘alaih yaitu uang untuk
membeli atau barang yang dibeli, dan shighat yaitu ijab dan qabul.
Dari pernyataan
diatas dapat di fahami bahwasanya rukun jual beli secara umum ada 3 yaitu Shighat, ‘Aqid dan Ma’qud ‘Alaih tetapi
dalam hakikatnya rukun jual beli ada 6 karena setiap rukun yang tiga diatas
terkandung dua bagian.
a)
Ijab dan Qobul
1) Pengertian
Ijab dan Qobul
Pengertian Ijab
menurut Hanafiyah adalah menetapkan perbuatan yang khusus yang menunjukkan
kerelaan, yang timbul pertama dari salah satu pihak yang melakukan akad.
Sedangkan qabul adalah pernyataan yang disebutkan kedua dari pembicaraan salah
satu pihak yang melakukan akad.
Menurut Abi Yahya Zakariya Al-Anshori, Ijab adalah:
إيجاب وهو ما يدل
على التمليك السابق دلالة ظاهرة
Sesuatu
yang menunjukkan atas pemberian kepemilikan dengan ungkapan yang jelas.
Sedang Qabul adalah:
قبول وهو ما يدل على
التملك السابق كذلك
Qabul
adalah sesuatu yang menunjukkan atas penerimaan dengan ungkapan yang jelas.
2) Shighat
Ijab dan Qabul
Shighat akad
adalah bentuk ungkapan dari ijab dan qabul apabila akadnya akad iltizam yang
dilakukan oleh dua pihak, atau ijab saja apabila akadnya akad iltizam yang
dilakukan oleh satu pihak.
Menurut Hanafiah, akad jual beli hukumnya sah dengan menggunakan shighat fi’il madhi, seperti: بِعْتُ
(saya jual),
danإِشْتَرَيْتُ (saya
beli), dan dengan shighat sekarang (mudhari’) disertai dengan niat, seperti أَبِيْعُ (akan saya jual), dan أَشْتَرِي (akan saya beli).
Menurut Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah, baik akad
jual beli maupun akad nikah, hukunya sah dengan menggunakan lafal Istid’a’ (amar atau Istifham).
Karena yang terpenting dalam akad jual beli itu adalah kerelaan.
Hal ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh ibnu majah dari Abi Sa’id
Rasulullah SAW Bersabda:
إِنَّمَا
الْبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ
Sesungguhnya jual beli itu harus atas dasar kerelaan.
Jadi para ulama telah sepakad bahwa landasan untuk
terwujudnya suatu akad adalah timbulnya sikap yang menunjukkan kerelaan atau
persetujuan kedua belah pihak untuk merealisasikan kewajiban diantara mereka,
yang oleh para ulama disebut shighat akad.
3) Sifat
Ijab dan Qabul
Menurut
Hanafiah, Malikiyah, dan tujuh fuqaha Madinah dari kalangan tabi’in, akan
langsung mengikat begitu ijab dan qabul selesai dinyatakan. Hal tersebut
dikarenakan akad jual beli merupakan akad mu’awadhah, yang langsung mengikad
kedua pihak yang melakukan akad menyatakan ijab dan qabul-nya, tanpa memerlukan
khiar majelis.
Menurut
syafi’iyah, Hanabilah, Sufyan Ats-Tsauri dan Ishak, apabila akad telah terjadi
dengan bertemunya ijab dan qabul, maka akad menjadi jaiz (boleh), yakni tidak
mengikat
selama para pihak masih berada di majelis akad. Masing-masing pihak boleh
melakukan khiar (memilih) antara membatalkan jual beli atau meneruskannya,
selama keduanya masih berkumpul dan belum berpisah.
Hal ini sesuai dengan hadits Nabi SAW dari Abdullah Ibnu
Al-Harits dari Hakim Ibnu Hizam Bahwa nabi Bersabda:
البَيِّعَانِ
بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا, فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُوْرِكَ لَهُمَا
فَي بَيْعِهِمَا, وَإِنْ كَتَمَا وَكَذَبَا مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا
Penjual dan
pembeli boleh melakukan khiyar selagi keduanya belum berpisah. Apabila keduanya
benar (jujur) dan jelas maka keduanya diberi keberkahan dalam jual beli mereka.
Tetapi apabila mereka berdua berbohong dan merahasiakan maka akan dihapus
keberkahan jual beli mereka berdua.(HR. Bukhari dan muslim).
Yang dimaksud “berpisah” dalam hadits diatas yaitu
berpisah secara fisik (badan), bukan berpisah dengan ucapan misal karena
banyaknya pembeli sehingga harus melayani yang lainnya.
b)
‘Aqid (Penjual dan Pembeli)
Rukun jual beli
yang kedua adalah ‘aqid atau orang
yang melakukan akad, yaitu penjual (بَائِعْ)
dan pembeli. Secara umum, penjual (مُشْتَرِي) dan pembeli harus orang
yang memiliki ahliyah (kecakapan) dan
wilayah (kekuasaan).
Adapun
syarat-syarat antara penjual dan pembeli adalah:
1) Berakal, Tidak sah jual beli orang gila.
2) Dengan
kehendak sendiri; Tidak sah jual beli orang yang dipaksa dengan tidak benar.
3) Keadaannya
tidak mubadzir (pemborosan) karena harta orang yang mubazzir (pemborosan/bodoh)
itu ditangan walinya.
4) Baligh, tidak sah jual beli anak-anak.
c)
Ma’qud ‘Alaih (Objek Akad Jual Beli)
Ma’qud ‘alaih
atau objek akad jual beli adalah barang yang dijual (mabi’) dan harga atau uang
(tsaman).
4.
Syarat-Syarat Jual Beli
Ada empat syarat yang harus dipenuhi dalam akad jual
beli, yaitu :
a) Syarat in’iqad (terjadinya akad)
Syarat
in’iqad adalah syarat harus terpenuhi agar akad jual beli dipandang sah menurut
syara’. Apabila syarat ini tidak dipenuhi, maka akad jual beli menjadi batal.
Hanafiah mengemukakan empat macam syarat untuk keabsahan jual beli:
1) Syarat
berkaitan dengan ‘aqid (orang yang melakukan akad)
Syarat untuk ‘aqid yaitu penjual
dan pembeli ada dua :
· ‘Aqid
harus berakal yakni mumayyiz. Maka tidak sah akad yang dilakukan oleh orang
gila, dan anak yang belum berakal (belum mumayyiz).
· ‘Aqid
(orang yang melakukan akad) harus berbilang (tidak sendirian). Dengan demikian,
akad yang dilakukan oleh satu orang yang mewakili dua pihak hukumnya tidak sah,
kecuali apabila dilakukan oleh ayang yang membeli barang dari anaknya yang
masih di bawah umur dengan harga pasaran.hal ini oleh karena dalam jual beli
terdapat dua hak yang berlawanan, yaitu menerima dan menyerahkan.
2) Syarat
berkaitan dengan akad (ijab dan qabul)
Syarat akad yang
sangat penting adalah bahwa qabul harus sesuai dengan ijab, dalam arti pembeli
menerima apa yang di-ijabkan (dinyatakan) oleh penjual. Apabila terjadi
perbedaan antara ijab dan qabul, misalnya pembeli menerima barang yang tidak
sesuai dengan yang dinyatakan oleh penjual, maka akad jual beli tidak sah.
3) Syarat
berkaitan dengan tempat akad
Ijab dan qabul
harus terjadi dalam satu majelis. Apabila ijab dan qabul berbeda majelisnya,
maka akad jual beli tidak sah.
4) Syarat
yang berkaitan dengan objek akad (ma’qud ‘alaih)
Syarat yang
dipenuhi oleh objek akad (ma’qud ‘alaih) adalah :
· Barang
yang dijual harus maujud (ada). Oleh karena itu, tidak sah jual beli barang
yang tidak ada (ma’dum) atau dikhawatirkan tidak ada. Seperti jual beli anak
unta yang masih dalam kandungan, atau jual beli buahbuahan yang belum tampak.
· Barang
yang dijual harus mal mutaqawwim yaitu barang yang bisa dikuasai secara lansung
dan boleh diambil manfaatnya dalam keadaan ikhtiyar. Dengan demikian, tidak sah
jual beli mal yang ghair mutaqawwim, seperti babi, darah, dan bangkai.
· Barang
yang dijual harus barang yang sudah dimiliki. Dengan demikian, tidak sah menjual
barang yang belum dimiliki oleh seseorang, seperti rumput meskipun tumbuh di
tanah milik perseorangan dan kayu bakar.
· Barang
yang dijual harus bisa diserahkan pada saat dilakukannya akad jual beli. Dengan
demikian, tidak sah menjual barang yang tidak bisa diserahkan, walaupun barang
tersebut milik si penjual, seperti kerbau yang hilang, burung di udara, dan
ikan di laut.
b) Syarat sah akad jual beli
Syarat
sah ini terbagi kepada dua bagian, yaitu syarat umum dan syarat khusus. Syarat
umum adalah syarat yang harus ada pada setiap jenis jual beli agar jual beli
tersebut dianggap sah menurut syara’. Secara global akad jual beli harus terhindar
dari enam macam ‘aib yaitu: Ketidakjelasan
(jahalah), pamaksaan
(al-ikrah), pembatasan
dengan waktu (at-tauqit),
penipuan
(gharar), pemudaratan
(dharar), syarat-syarat
yang merusak.
1)
Ketidakjelasan
(Al-Jahalah)
Yang
dimaksud disini adalah ketidakjelasan yang serius yang mendatangkan
perselisihan yang sulit untuk diselesaikan. Ketidakjelasan ini ada empat macam,
yaitu:
· Ketidakjelasan
dalam barang yang dijual, baik jenisnya, macamnya, atau kadarnya menurut
pandangan pembeli.
· Ketidakjelasan
harga
· Ketidakjelasan
masa (tempo), seperti dalam harga yang diangsur, atau dalam khiyar syarat.
Dalam hal ini waktu harus jelas, apabila tidak jelas maka akad menjadi batal.
Ketidakjelasan
dalam langkah-langkah penjaminan. Misalnya penjual mensyaratkan diajukannya
seorang kafil (penjamin). Dalam hal ini pennjamin tersebut harus jelas. Apabila
tidak jelas maka akad jual menjadi batal.
2)
Pemaksaan
(Al-Ikrah)
Pengertian
pemaksaan adalah mendorong orang lain (yang dipaksa) untuk melakukan suatu
perbuatan yang tidak disukainya. Paksaan ini ada dua macam:
· Paksaan
absolut, yaitu paksaan dengan ancaman yang sangat berat, seperti akan dibunuh,
atau dipotong anggota badannya.
· Paksaan
relatif, yaitu paksaan dengan ancaman yang lebih ringan, seperti dipukul.
Kedua
ancama tersebut mempunyai pengaruh terhadap
jual beli, yakni menjadikannya jual beli yang fasid menurut jumhur
Hanafiah, dan mauquf menurut Zufar.
3)
Pembatasan
dengan waktu (At-Tauqit)
Yaitu
jual beli dengan dibatasi waktunya. Seperti: “Saya jual baju ini
kepadamu untuk selama satu bulan atau satu tahun”. Jual beli semacam ini
hukumnya fasid, karena kepemilikan atas suatu barang, tidak bisa dibatasi
waktunya.
4)
Penipuan
(Al-Gharar)
Yang
dimaksud disini adalah gharar (penipuan) dalam sifat barang. Gharar
adalah sesuatu yang tidak diketahui akibatnya, dari sisi ada dan tidak ada.
Seperti: seseorang menjual sapi dengan pernyataan bahwa sapi itu air susunya
sehari sepuluh liter, padahal kenyataannya paling banyak dua liter. Akan
tetapi, apabila ia menjualnya dengan pernyataan bahwa air susunya lumayan
banyak tanpa menyebutkan kadarnya maka termasuk syarat yang shahih. Akan
tetapi, apabila gharar (penipuan) pada wujud (adanya) barang maka ini
membatalkan jual beli.
5)
Kemudaratan
(Ad-Dharar)
Kemudaratan
ini terjadi apabila penyerahan barang yang dijual tidak mungkin dilakukan
kecuali dengan memasukkan kemudaratan kepada penjual, dalam barang selain objek akad. Seperti seseorang
menjual baju (kain) satu meter, yang tidak bisa dibagi dua. Dalam
pelaksanaannya terpaksa baju (kain) tersebut dipotong, walaupun hal itu
merugikan penjual.
Dikarenakan
kerusakan ini untuk menjaga hak perorangan, bukan hak syara’ maka para fuqaha
menetapkan, apabila penjual melaksanakan kemudaratan atas dirinya, dengan cara memotong baju
(kain) dan menyerahkannya kepada
pembeli maka akad berubah menjadi shahih.
6) Syarat-syarat yang merusak
Yaitu setiap syarat yang ada manfaatnya bagi salah satu
pihak yang bertransaksi, tetapi syarat tersebut tidak ada dalam syara’ dan adat
kebiasaan, atau tidak dikehendaki oleh akad, atau tidak selaras dengan tujuan
akad. Seperti seseorang menjual mobil dengan syarat ia (penjual) akan
menggunakannya selama satu bulan setelah terjadinya akad jual beli, atau
seseorang menjual rumah dengan syarat ia (penjual) boleh tinggal di rumah itu
selama masa tertentu setelah terjadinya akad jual beli.
Syarat
yang fasid apabila terdapat dalam akad mu’awadhah maliyah, seperti jual beli,
atau ijarah, akan menyebabkan akadnya fasid, tetapi tidak dalam akad-akad yang
lain, seperti akad tabarru’ (hibah dan wasiat) dan akad nikah. Dalam akad ini
syarat yang fasid tersebut tidak berpengaruh sehingga akadnya tetap sah.
Adapun
syarat-syarat khusus yang berlaku untuk beberapa jenis jual beli adalah sebagai
berikut:
· Barang
harus diterima. Dalam jual beli benda bergerak (manqulat), untuk
keabsahannya disyaratkan barang harus diterima dari penjual yang pertama,
karena sering terjadi barang bergerak itu sebelum diterima sudah rusak terlebih
dahulu, sehingga oleh karenanya dalam penjualan yang kedua terjadi gharar (penipuan)
sebelum barang diterima. Untuk benda-benda tetap (aqar) menurut Abu
Hanifah dan Abu Yusuf boleh dijual sebelum barang diterima.
· Mengetahui
harga pertama apabila jual belinya berbentuk murabahah, tauliyah, wadhiah, atau
isyrak.
· Saling
menerima (taqabudh) penukaran, sebelum berpisah, apabila jual belinya jual beli
sharf (uang).
· Dipenuhinya
syarat-syarat salam, apabila jual belinya jual beli salam (pesanan).
· Harus
sama dalam penukaran, apabila barangnya barang ribawi.
· Harus
diterima dalam utang piutang yang ada dalam perjanjian, seperti muslam fih dan
modal salam, dan menjual sesuatu dengan utang kepada selain penjual.
c) Syarat Kelangsungan Jual Beli (Syarat Nafadz)
Untuk
kelangsungan jual beli diperlukan dua syarat sebagai berikut:
1) Kepemilikan
atau Kekuasaan
Pengertian kepemilikan atau hak
milik sebagaimana telah dijelaskan dalam uraian yang lalu adalah menguasai
sesuatu dan mampu men-tasarruf-kannya sendiri, karena tidak ada
penghalang yang di tetapkan oleh syara’. Sedangkan wilayah atau kekuasaan
adalah kewenangan yang diberikan oleh syara’ sehingga dengan adanya kewenangan
itu maka akad yang dilakukannya hukumnya sah dan dapat dilangsungkan.
2) Pada
benda yang dijual (mabi’) tidak
terdapat hak orang lain. Apabila di dalam barang yang dijadikan objek jual beli
itu terdapat hak orang lain, maka akadnya mauquf
dan tidak bisa dilangsungkan. Oleh karena itu, tidak nafidz (dilangsungkan) jual beli yang dilakukan oleh orang yang
menggadaikan terhadap barang yang sedang digadaikan, dan juga oleh orang yang
menyewakan terhadap rumah yang sedang disewakan, melainkan jual belinya mauquf menunggu persetujuan murtahin (penggadai), dan musta’jir
(penyewa).
Dilihat
dari segi syarat nafadz ini, jual
beli dapat dibagi menjadi dua yaitu (a)
Jual beli nafidz (bisa
dilangsungkan), yaitu jual beli yang rukunnya syarat in’iqad dan syarat nafadz-nya
terpenuhi. (b)
jual beli mauquf (ditangguhkan), yaitu
jual beli yang rukunnya dan syarat in’iqad-nya
terpenuhi, tetapi syarat nafadz-nya
tidak terpenuhi.
d) Syarat Mengikatnya Jual Beli (Syarat Luzum)
Untuk mengikatnya (luzum-nya) jual beli disyaratkan
akad jual beli terbebas dari salah satu jenis khiyar yang membolehkan kepada salah satu pihak
untuk membatalkan akad jual beli, seperti khiyar syarat, khiyar ru’yah, dan khiyar ‘aib. Apabila did ala akad jual beli
terdapat salah satu dari jenis khiar ini maka akad tersebut tidak mengikat
kepada orang yang memiliki hak khiyar, sehingga ia berhak membatalkan jual beli
atau meneruskan atau menerimanya. Ada beberapa pendapat tentang syarat yang
harus dipenuhi dalam akad jual beli :
1) Menurut Hanafiah terdapat 23 syarat:
(a)
‘Aqid (orang yang melakukan akad) harus berakal dan mumayyiz.
(b)
‘Aqid harus berbilang.
(c)
Para pihak yang melakukan jual beli harus mendengar pembicaraan pihak
lain.
(d)
Ijab dan qabul harus sesuai.
(e)
Ijab dan qabul harus dinyatakan dalan satu majelis.
(f)
Objek akad jual beli (mabi’) harus berupa harta (mal).
(g)
Objek akad (mabi’) harus berupa mal mutaqawwim.
(h)
Objek akad harus dimiliki oleh si penjual.
(i)
Objek akad harus ada (maujud) pada waktu akad dilaksanakan.
(j)
Objek akad harus bisa diserahkan pada waktu dilaksanakannya akad.
(k)
Imbalan (harga) harus mal mutaqawwim.
(l)
Objek akad dan harga harus diketahui.
(m)
Jual beli tidak boleh dibatasi dengan waktu.
(n)
Jual beli harus ada ,manfaat dan faedahnya bagi kedua belah pihak.
(o)
Jual beli harus terhindar dari syarat yang merusak.
(p)
Dalam jual beli benda bergerak, benda harus diserahkan.
(q)
Harga pertama harus diketahui.
(r)
Harus saling menerima dan harus sama dalam jual beli benda ribawiyah.
(s)
Terpenuhinya syarat salam dalam jual beli salam.
(t)
Dalam jual beli utang kepada selain mudin (orang yang berpiutang), salah
satu penukaran bukan utang.
(u)
Barang yang dijual merupakan hak milik si penjual.
(v)
Di dalam barang yang dijual tidak ada hak orang lain.
(w)
Di dalam akad jual beli tidak ada syarat khiyar.[29]
2)
Menurut Malikiyah terdapat 11 syarat
(a)
Penjual dan pembeli harus mumayyiz.
(b)
Penjual dan pembeli harus menjadi pemilik atas barang, atau wakil dari
pemilik.
(c)
Penjual dan pembeli harus orang yang memiliki kebebasan (mukhtar).
(d)
Penjual harus cerdas (rasyid) dalam mengelola hartanya.
(e)
Ijab dan qabul harus bersatu dalam satu majelis.
(f)
Ijab dan qabul tidak boleh berpisah.
(g)
Mabi’ dan tsaman (harga) harus benda yang tidak dilarang oleh syara’.
(h)
Benda yang dijual harus suci.
(i)
Benda harus bermanfaat menurut syara’
(j)
Benda yang menjadi objek akad harus diketahui, tidak majhul.
(k)
Benda yang menjadi objek akas harus bisa diserahkan.
3)
Menurut Syafi’iyah terdapat 22 syarat
(a)
‘Aqid harus memiliki sifat ar-rusyd (cerdas), yakni baligh dan berakal.
(b)
Tidak ada paksaan tanpa hak.
(c)
Islamnya pembeli dalam pembelian
mushhaf dan sebagainya, seperti hadis, fiqh, dan lain-lain.
(d)
Pembeli bukan kafir harbi dalam pembelian alat perlengkapan perang yang
digunakan untuk memerang kaum muslimin.
(e)
Para pihak mengungkapkan khithab-nya kepada temannya, bukan ditunjukan
kepada orang lain, seperti (saya jual kepadamu).
(f)
Khithab menggunakan jumlah (kalimat) mukhathab.
(g)
Qabul di ucapkan oleh orang yang langsung mendengar ijab.
(h)
Orang yang memulai pembicaraan hendaknya menyebutkan harga dan barang.
(i)
Penjual dan pembeli menghendaki dengan sungguh-sungguh arti kata-kata
yang diucapkan.
(j)
Kecakapan (ahliyah) penjua dan pembeli harus tetap ada sampai selesainya
qabul.
(k)
Antara ijab dan qabul tidak boleh terpisah dengan waktu yang lama.
(l)
Ijab dan qabul tidak boleh diselingi dengan pembicaraan dengan orang
lain.
(m)
Orang yang mengatakan ijab tidak boleh mengubah pembicaraannya sebelum
pihak lain menyatakan qabul.
(n)
Para pihak yang melakukan akad jual beli harus mendengarkan ucapan pihak
lainnya.
(o)
Ijab dan qabul harus benar-benar sesuai dan tidak boleh berbeda.
(p)
Sighat ijab dan qabul tidak boleh dikaitkan dengan sesuatu yang tidak
dikehendaki oleh akad.
(q)
Akad jual beli tidak boleh dibatasi dengan waktu.
(r)
Ma’qud ‘alaih (objek akad) harus suci.
(s)
Objek akad harus bermanfaat menurut syara’
(t)
Objek akad harus barang yang bisa diserahkan.
(u)
Objek akad harus dimiliki oleh ‘aqid, atau ia memperoleh kekuasaan
(wilayah).
(v)
Ma’qud ‘alaih harus diketahui oleh para pihak yang melakukan akad, baik
bendanya, kadarnya, maupun sifatnya.
4) Menurut Hanabilah terdapat 11 syarat
(a)
‘Aqid harus memiliki sifat ar-rusyd
(cerdas) dalam mengelola harta kekayaan kecuali dalam urusan kecil. Akan
tetapi, untuk mumayyiz dan safih apabila ada ijin wali dan untuk
kemaslahatan maka akad jual belinya sah.
(b)
Adanya persetujuan (kerelaan) dari pihak yang melakukan akad, dan
ikhtiyar (kebebasan), atau tidak ada paksaan kecuali dengan hak.
(c)
Ijab dan qabul harus menyatu dalam satu majelis.
(d)
Ijab dan qabul tidak boleh terpisah.
(e)
Akad tidak boleh dibatasi dengan waktu, dan tidak digantungkan dengan
selain kehendak Allah.
(f)
Objek akad harus berupa mal (harta).
(g)
Objek akad harus dimiliki oleh penjual dengan milik yang sempurna.
(h)
Objek akad harus bisa diserahkan pada waktu akad.
(i)
Objek akad harus diketahui baik oleh penjual maupun pembeli.
(j)
Harga juga harus diketahui oleh para pihak yang melakukan akad, baik pada
waktu akad, maupun sebelumnya.
(k)
Baik harga barang, maupun orang yang melakukan akad harus terhindar dari
hal-hal yang menghalangi keabsahan akad, seperti riba, atau syarat yang tidak
selaras dengan tujuan akad dan sebagainya.
Dari uraian tersebut dapat diketahui persamaan dan
perbedaan antara keempat mazhab tersebut mengenai syarat-syarat jual beli, antara lain sebagai
berikut :
(a)
Berkaitan dengan ‘aqid
Tamyiz merupakan syarat yan disepakati, sedangkan baligh merupakan syarat yang
diperselisihkan oleh para ulama. Menurut Malikiyah dan Hanafiah, baligh adalah
syarat nafadz (kelangsungan jual
beli), sedangkan menurut syafi’iyah dan Hanabilah baligh merupakan syarat in’iqad (keabsahan jual beli).
Adapun ikhtiyar (kebebasan) merupakan syarat
in’iqad menurut jumhur, dan syarat nafadz
menurut Hanafiah. Dengan demikian, akad orang yang dipaksa hukumnya batal
menurut jumhur, mauquf ghair nafidz
menurut Malikiyah, dan ghair lazim
menurut pendapat yang mu’tamad dari
Malikiyah.
(b)
Berkaitan dengan shighat
Bersatunya
ijab dan qabul dalam satu majelis, tidak terpisah, sesuai dan selaras,
saling mendengar pernyataan, tidak digantungkan dengan syarat, dan akad tidak
boleh dibatasi dengan waktu, merupakan syarat-syarat yang disepakati oleh
keempat ulama mazhab.
(c)
Berkaitab dengan objek akad (ma’qud
‘alaih)
Ma’qud ‘alaih harus mal mutaqawwim, maujud
(ada), bisa diserahkan, diketahui (tidak majhul)
merupakan syarat-syarat yang disepakati. Hanya saja menurut Hanafiah jahalah (ketidak jelasan) menyebabkan
jual beli menjadi fasid, dan menurut
jumhur mambatalkannya. Adapun keadaan mabi’
(objek jual beli) harus dimiliki oleh penjual dipandang sebagai syarat nafadz
oleh Hanafiyah dan Malikiyah, dan sebagai syarat in’iqad oleh Syafi’iyah dan
Hanabilah. Dengan demikian, jual beli fudhuli
mauqud menurut kelompok pertama (Hanafiyah dan Malikiyah), dan batal
menurut kelompok kedua (Syafi’iyah dan Hanabilah).
Adapun
syarat mabi’ (barang yang dijual)
tidak dikaitkan dengan hak orang lain selain penjual, seperti dalam jual beli
barang yang digadaikan, oleh Hanafiyah dianggap sebagai syarat nafadz, sedangkan oleh Syafi’iyah,
Malikiyah, dan Hanabilah dipandang sebagai syarat in’iqad. Dengan demikian, jual beli marhun (barang yang dugadaikan) mauqud
menurut pendapat pertama (Hanafiyah) dan batal menurut pendapat kedua (jumhur).
5.
Macam-Macam Jual Beli
a. Menurut Hanafiah
1) Dilihat
dari segi sifatnya
Dilihat dari
segi sifatnya, jual beli terbagi kepada dua bagian, yaitu jual beli shahih dan
ghairu shahih. Jual beli shahih adalah:
Jual beli yang
shahih adalah jual beli yang disyariatkan dengan memenuhi asalnya dan sifatnya
atau dengan ungkapan lain, jual beli shahih adalah jual beli yang tidak terjadi
kerusakan. Baik pada rukunnya maupun pada syaratnya.
Jual beli yang
shahih, apabila objeknya tidak ada hubungannya dengan hak orang lain selain
akid maka hukumunya nafidz. Artinya, bisa dilangsungkan dengan
malaksanakan hak dan kewajiban dengan masing-masing pihak yaitu penjual dan
pembeli. Apabila objek jual belinya ada kaitannya dengan hak orang lain, maka
hukumnya maukuf, yakni ditangguhkan menunggu persetujuan pihak terkait
seperti jual beli barang yang digadaikan dan disewakan.
Pengertian jual
beli ghairu shahih adalah:
Jual beli ghairu
shahih adalah jual beli yang tidak dibenarkan sama sekali oleh syariat, dan
dinamakan jual beli batil atau jual beli yang disyariatkan dengan terpenuhi
pokoknya (rukunnya), sifatnya dan ini dinamakan jual beli fasid.
Dari definisi tersebut, dapat dipahami bahwwa jual beli
ghairu shahih adalah jual beli yang syarat dan rukunnya tidak terpenuhi sama
sekali, atau rukunnya terpenuhi tetapi sifat atau syaratnya tidak terpenuhi,
seperti jual beli yang dilakukan oleh orang yang memiliki ahliyatul ‘ahda’
kamilah (sempurna), tetapi barang yang dijual belum jelas (majhul). Apa
bila rukun dan syaratnya tidak terpenuhi, maka jual beli tersebut disebut jual
beli yang batil, akan tetapi, apabila rukunnya terpenuhi tetapi ada sifat yang
dilarang maka jual belinya disebut fasid.
2) Dilihat
Dari Segi Shighatnya
Jual beli
terbagi menjadi dua bagian, jual beli mutlak dan ghairu mutlak. Jual beli
mutlak adalah jual beli yang dinyatakan dengan
sighat (redaksi) yang bebas dari kaitannya dengan syarat dan sandaran kepada
masa yang akan datang.
Sedang pengertian
untuk ghairu mutlak adalah jual
beli yang sighatnya (redaksinya) dikaitkan atau disertai dengan syarat atau
disandarkan pada masa yang akan datang.
3) Dilihat
Dari Segi Hubungannya dengan Obyek Jual-beli
Jual beli ini
dibagi kepada empat bagian, yaitu, jual beli muqoyyadloh, sharf, salam dan
mutlak.
Jual beli Muqayyadhah adalah jual beli barang dengan
barang. Seperti jual beli binatang dengan binatang, beras dengan gula, atau
mobil dengan mobil. Jual beli semacam ini hukumnya shahih. Baik barang tersebut
jenisnya sama atau berbeda. Apabila barangnya satu jenis, maka disyaratkan
tidak boleh ada riba.
Jual beli Sharf
adalah:
الصَّرفُ هُوَ بَيْعُ الذَّهَبِ
بِالذَّهَبِ , وَالْفِضَّةِ بِالْفِضَّةِ, أَوْ بَيْعُ أَحَدِهِمَا بِالأَخَرْ
Tukar menukar emas
dengan emas dan perak dengan perak atau menjual salah satu dari keduanya dengan
yang lain )Emas dengan perak atau perak
dengan emas(.
Dalam jual beli
sharf yang jenisnya sama disyaratkan:
a) Kedua
jenis mata uang yang ditukarkan harus sama nilainya, tidak boleh lebih.
Misalnya uang sepuluh real di tukar dengan uang sepuluh real pecahan satu real.
b) Tunai,
apabila emas dijual atau ditukar dengan emas dengan pembayaran duangsur, maka
hokum jual belinya tidak sah.
c) Harus
diserah terimakan di majlis akad apabila keduanya terpisah secara fisik sebelum
uang yang di tukar diterima maka akad menjadi batal.
Jual beli Salam
adalah, penjualan tempo dengan pembayaran tunai. Sayid Sabiq memberikan
definisi salam sebagai berikut:
السَّلاَمُ
وَيُسَمَّى السَّلَفُ وَهُوَ بَيْعٌ شَيْئٍ مَوْصُوْفٍ فِي الذِّمَّةِ بِثَمَنٍ
مُعَجَّلً
Jual beli salam disebut
juga salaf adalah jual beli sesuatu yang disebutkan sifat-sifatnya dalam
perjanjian dengan harga atau pembayaran dipercepat (tunai).
Dari definisi
tersebut dapat dibagi bahwa salam adalah jual beli dengan memesan barang
terlebih dahulu yang disebutkan sifatnya atau ukurannya, sedangkan
pembayarannya dilakukan dengan tunai. Orang yang memesan disebut muslim, orang
yang memiliki barang disebut muslam ilaih, barang yang dipesan disebut muslam
fiih, dan harganya disebut ro’su mal as-salam. Hokum jual beli salam ini boleh
sebagai rukhsah dan pengecualian dari persyaratan jual beli dimana barang harus
ada pada waktu akad. Dasar hukumnya
yaitu Firman Allah SWT:
$yg•ƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) LäêZtƒ#y‰s? Aûøïy‰Î/ #’n<Î) 9@y_r& ‘wK|¡•B çnqç7çFò2$$sù 4
Hai orang-orang
yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang
ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. (QS.
Al-Baqarah 282)
Dalam hadits
dibenarkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari ibnu Abbas:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ الّلهُ عَنهُمَا قَالَ : قَدِمَ
النَّبِيُ صَلَّى الّله عَلَيْهِ وَسَلَّم المَدِينَةَ يُسْلِفُوْنَ فِي الثِّمَا
رِ السَّنَةَ وَالسَّنَتَيْنِ فَقَالَ : مَنْ أَسْلَفَ فِي تَمَرِ فَلْيُسْلِفْ
فِي كَيْلٍ مَعْلُوْمٍ وَوَزْنٍ مَعْلُوْمٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُوْمٍ. (مُتَّفَقٌ
عَلَيْه)
Dari
ibn Abbas r.a ia berkata; Nabi SAW telah datang ke Madinah dan mereka (penduduk
Madinah) memesan buah-buahan selama satu tahun dan dua tahun, maka Nabi
bersabda; “Barang siapa yang memesan buah kurma, maka hendaklah ia memesannya
dalam takaran tertentu, dan timbangan tertentu serta waktu tertentu” (Muttafakun ‘Alaih).
4)
Dilihat dari segi harga dan ukurannya
jual beli terbagi
kepada empat bagian, yaitu jual beli Murabbahah, Tauliyah, Wadi’ah dan
Musawwamah.
Murabbahah
dalam arti bahasa berarti ziyadah atau tambahan. Menurut istilah para fuqaha’,
murabbahah sebagai berikut:
Jual beli Murabbahah
adalah, menjual barang dengan harganya semula ditambah dengan keuntungan dengan
syarat-syarat tertentu, atau dengan kata lain jual beli yang menguntungkan. Misalnya, seseorang membeli mobil dengan
harga Rp. 100.000.000,- termasuk biaya pajak dan lain-lain. Pada waktu ia
menjual mobilnya pada orang lain, keuntungan yang diinginkan yaitu sebesar
Rp.20.000.000. Jadi harga penjualannya menjadi Rp.120.000.000.
Jual beli Tauliyah
adalah jual beli barang sesuai dengan harga pertama tanpa tambahan. Atau
menjual dengan harga aslinya.
Jual beli Wadli’ah
adalah jual beli barang dengan mengurangi harga pembelian.
Jual beli Musawwamah
adalah jual beli yang biasa berlaku dimana para pihak yang melakukan akad jual
beli saling menawar sehingga mereka berdua sepakat atas suatu harga dalam
transaksi yang mereka lakukan. Dalam jual beli ini apabila barang sedang ditawa
oleh orang lain denga harga yang masih dinegosiasikan dan disepakati belum
terjadi ijab qabul, maka orang lain tidak boleh menawar dengan harga yang
melebihi tawaran pertama.
b. Menurut Malikiyah
1) Ditinjau
dari Segi Pembayarannya Tempo atau Tunai
a) Jual
beli tunai (bai’ an-naqd),
yaitu jual beli dimana harga (tsaman) dan barang (tysaman fiih)
diserahkan secara tunai.
b) Jual
beli utang dengan utang (bai’ ad-Dain bi ad-Dain), yaitu jual beli diman
harga dan barang diserahkan nanti (tempo) ini termasuk jual beli yang dilarang.
c) Jual
beli tempo (al-Bai’ li ajal), yaitu jual beli dimana harga dibayar tempo
sedangkan barang diberikan tunai.
d) Jual
beli Salam yaitu, jual beli dimana barang diberikan nanti tetapi harga
dibayar tunai.
2) Ditinjau
dari Segi Alat Pembayarannya
a) Jual
beli benda dengan benda (bai’ ‘al-ain bi al-‘ain)
Jual beli ini terbagi kepada tiga
bagian; jual beli sarf, murathalah dan mubaddalah:
(1) Jual
beli Sharf
yaitu, jual beli dimana jenis penukarannya berbeda, seperti emas dan perak atau
sebaliknya
(2) Jual
beli Murathalah yaitu, jual beli dimana jenis penukarannya sama dengan
cara ditimbang, seperti emas dengan emas.
(3) Jual
beli Mubaddalah yaitu, jual beli
dimana jenis penukarannya sama tetapi jual beli dilakukan dengan cara dihitung,
bukan ditimbang.
(4) Jual
beli ‘Ardh dengan ‘Ardh, yakni jual beli uang emas dengan uang
emas, atau perak dengan perak.
(5) Jual
beli ‘Ardh (emas atau perak) dengan benda.
3) Ditinjau
dari segi dilihat atau tidaknya objek
a) Jual
beli barang yang kelihatan (bai’ al-hadhir), yaitu jual beli dimana
barang yang menjadi objek jual beli bisa dilihat.
b) Jual
beli barang yang tidak kelihatan (bai’ al-ghaib), yaitu jual beli dimana
barang yang menjadi objek akad tidak bisa diliahat.
4) Ditinjau
dari putus tidaknya akad
a) Jual
beli yang putus (jadi) sekaligus (bai’ al-bat), yaitu jual beli yang
tidak ada khiyar (pilihan) bagi salah satu pihak yang berakat.
b) Jual
beli khiyar (bai’ al-khiyar), yaitu jual beli dimana salah satu
pihak yang melakukan akad member kesempatan khiyar (pilihan untuk
meneruskan jual beli atau membatalkannya) kepada pihak lainnya.
5) Ditinjau
dari segi ada tidaknya harga pertama
a) Jual
beli Murabahah.
b) Jual
beli Musawamah.
c) Jual
beli Muzayadah, yaitu jual beli dimana para pihak yang berakad menambah
harga, sehingga di dapat harga tertinggi.
d) Jual
beli Al-Isti’man, yaitu jual beli dengan tujuan untuk mencari
perlindungan keamanandari segala yang zhalim.
6) Ditinjau
dari segi sifatnya
a) Jual
beli yang shahih
b) Jual
beli yang fasid
c. Menurut Syafi’iyah
Syafi’iyah membagi akad jual beli
kepada dua bagian:
1) Jual
beli yang shahih, yaitu jual beli yang terpenuhi syarat dan rukunnya.
2) Jual
beli yang fasid, yaitu jual beli yang sebagian syarat dan rukunnya tidak
terpenuhi.
d. Menurut Hanabilah
Hanabilah membagi jual beli kepada
dua bagian yaitu shahih
lazim dan fasid.
C. Kesimpulan
Dari Pemaparan di atas dapat di
tarik kesimpulan bahwasanya jual beli merupakan suatu akad yang dilakukan untuk
memindahkan hak kepemilikan barang guna diambil manfaatnya dengan memenuhi rukun
dan syarat-syarat yang telah ditentukan. Hukum jual beli hukumnya boleh atas dasar
Al-Qur’an dan hadits Nabi.
Jual beli dikatakan sah jika
terpenuhi syarat dan rukunnya. Rukun yang harus terpenuhi yaitu adanya Akad
yaitu lafal ijab da qabul, adanya ‘aqid yaitu penjual dan pembeli, kemudian
Ma’qud ‘alaih yaitu barang untuk membeli dan barang yang dibeli. Dan syarat
yang harus dipenuhi dalam proses jual beli yaitu syarat in’aqid, syarat sah
akad, syarat bafidz dan syarat luzum.
Jual beli memiliki banyak
macam, karena para imam madzhab membaginya dari banyak segi misalnya dari segi
shighat, sifat, waktu pembayaran, alat pembayaran dan lain sebagainya.
DAFTAR
RUJUKAN
Al-Anshari, Abi
Yahya Zakariya. tt. Fathul Wahhab. Juz ١. Kediri: Pethuk.
Al-Bugha, Musthafa
Dib. 2010. Fikih Islam Lengkap Penjelasan
Hukum-Hukum Islam Madzhab Syafi’i.
Surakarta: Media Zikir
Al-Jamal, Ibrahim Muhammad.
1986.
Fiqih Wanita. Semarang: CV AS-Syifa’.
Al-Jaziiri, Abdur
Rahman. 2003. Kitab Al-fiqh ‘Ala Madzaahib Al-Arba’ah. Beirut: Dar
Al-Kotob Al-Ilmiyah.
Al-Kahlani,
Muhammad bin Ismail. tt. Subul As-Salam, Juz ٣. Surabaya: Al-hidayah.
Al-Khalafi, Abdul
‘Azhim bin Badawi .
2008. Al-Wajiz. Jakarta: Pustaka
as-Sunnah.
Al-Mishriy, Abi
Bakr Ad-Dimyati. tt. I’anah Ath-Thalibin. Juz ٣. Jeddah: Al-Haramain.
As-Sayuthi,
Jalaluddin Abi Bakr. 2006. Al-Jami’ Ash-Shaghir. Cetakan Ke-3. Beirut:
Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah.
Kamal bin
As-Sayyid
Salim, Abu Malik.
2007. Shahih Fikih Sunnah. Jakarta:
Pustaka Azzam.
Muslich, Ahmad Wardi.
2010. Fiqh Muamalat. Jakarta: Amzah.
Rifa’i,
Moh.
1978. Fiqih Islam Lengkap. Semarang: PT Karya Toha Putra.
Syafei, Rachmat. 2001. Fiqih Muamalah. Bandung: Pustaka Setia.