A. Latar Belakang
Islam adalah agama yang haq hingga akhir masa. Islam
agama yang komprehensif karena islam adalah tutunan dalam menjalani kehidupan
ini, segala laku kita sudah tercantum tutunannya dalam al-Qurán dan al-Hadits
jadi jika kita hidup dengan memegang tutunan itu maka layaknya seorang
pengelana maka dia tidak akan tersesat karena dia mempunyai peta guna
membuatnya sampai ketempat tujuan walaupun dalam menjalaninya ditempuh dengan
susah payah.
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي
خَلَقَ خَلَقَ
الإِنسَانَ مِنْ عَلَقٍ اقْرَأْ وَرَبُّكَ اْلأَكْرَمُ الَّذِي
عَلَّمَ ابِالْقَلَمِ عَلَّمَ اْلإِنسَانَ مَالَمْ يَعْلَمْ
1. Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan,
2. Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah, 3. Bacalah, dan
Tuhanmulah yang Maha pemurah, 4. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran
kalam[1],,
5. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (Q.S. al-‘Alaq,
1-5)
Adalah wahyu yang mengetengahkan ilmu yang harus
dimiliki guna menjalankan agama Allah swt ini, yaitu dengan ilmu Allah, maka
tidak heran mengapa Rosulullah menjawab: “saya tidak bisa membaca” bukan
berarti beliau tidak bisa baca tulis atau bukan beliau bodoh yang tidak bisa
menggunakan pikirannya. Justru jawaban tersebut menggambarkan pandangan yang
jauh dan murni, seperti halnya para malaikat tatkala diperintahkan untuk
menjelaskan al-Asma mereka menjawab: سبحنك لا علم
لنا الاماعلمتنا
Wahyu adalah diatas segalanya akalpun tak sanggup
menjangkaunya, hanya qolbu yang bersih akan tersentuh oleh wahyu. Karena wahyu
adalah bahasa Allah yang berbicara tentang hakekat kebenaran (Haq).
Sesungguhnya ilmu itu dari Allah yang diajarkan
didalam kitabnya dan tidak pernah ada suatu ilmupun yang tidak diterangkan
dalam al-kitab atau terlepas dari al-Qurán.
Jadi dalam kehidupan ini kita membutuhkan ilmu
pengetahuan, baik dalam memahami Islam juga dalam memahami alam beserta isinya
yang telah Allah swt ciptakan, kita membutuhkan uraian ilmu yang terkandung
dalam al-Quránul karim sebagai mana perkataan DR. Zakir Naik[2]
dalam Dialognya mengenai Ilmu pengetahuan dari sisi al-Qurán dan Injil beliau,
mengatakan:
“al-Qurán bukanlah ilmu pengetahuan ia adalah buku
tentang tanda, ia buku tentang ayat-ayat dan disana ada 6000 ayat dalam
al-qurán yang agung yang di dalamnya ada lebih dari 1000 uraian tentang ilmu
pengetahuan”. Yang didalamnya terdapat ribuan tanda bagi orang yang mau membuka
mata pikiran dan hatinya, karena orang-orang yang mendengar tetapi tuli,
melihat tetapi buta dan berbicara tetapi bisu. Sebagaimana Allah swt berfirman:
صُمُّ بُكْمٌ عُمْىُُ فَهُمْ لاَ
يَرْجِعُونَ
Mereka tuli, bisu dan buta[3],
Maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar). (Q.S. al-Baqarah,
18)
Ada dua pendekatan yang digunakan dalam mencari
kebenaran antara kitab suci dan ilmu pengetahuan yaitu pendekatan kesesuaian
dan pendekatan konflik. Yaitu pendekatan kesesuain antara kitab suci dan ilmu
pengetahuan, atau pendekatan konflik dimana mencari ketidak samaan antara kitab
suci dan ilmu pengetahuan, namun dengan pendekatan apapun al-Qurán sepanjang
anda berpikir logis dan setelah penjelasan logis diberikan pada anda tak
seorang dapat membuktikan satu ayat pun dalam kitab suci al-Qurán untuk
dipertentangkan dengan ilmu pengetahuan modern[4].
Dari penjabaran latar belakang diatas penulis ingin
membuat beberapa hal yang menjadi perhatian atau yang akan dibahas dalam
makalah ini menyangkut islamisasi ilmu pengetahuan, yaitu:
- Dua
pengembang Islamisasi ilmu pengetahuan yang terkenal.
- Srategi
dan kerangka kerja dasar islamisasi ilmu pengetahuan.
- Tiga
Fase Islamisasi Ilmu Pengetahuan Kontemporer.
B. Pembahasan
Pada hakekatnya ide Islamisasi Ilmu Pengetahuan
(Islamization of knowledge) ini tidak bisa dipisahkan dari pemikiran Islam di
zaman moderen ini. Ide tersebut telah diproklamirkan sejak tahun 1981, yang
sebelumnya sempat digulirkan di Mekkah sekitar tahun 1970-an.
Dalam islamisasi dikenal dua nama yang disebut-sebut
sebagai penyebar faham ini keseluruh penjuru negeri, yaitu Naquib al-Attas dan
Ismail al-Faruqi, dimana kedua sama-sama mengumandangkan Isu Islamisasi Ilmu
Pengetahuan tetapi dengan dua jalan yang berlainan.
- Al-Attas
vs Al-Faruqi[5]
Konstruk intelektual yang dinisbatkan pada peradaban
tertentu, biasanya memiliki spektrum yang cukup luas. Ia tidak bisa
dibaca sebagai sesuatu yang tunggal dan serba seragam. Demikian halnya
dengan gagasan islamisasi ilmu pengetahuan yang mulai ramai diperbincangkan
pada tahun 1970-an. Pada tahap perkembangan mutakhirnya, model islamisasi ilmu
pengetahuan yang diajukan oleh berbagai sarjana Muslim dari berbagai disiplin
ilmu, bisa dibedakan baik dari sisi pendekatan dan konsepsi dasarnya. Terlebih
pula jika melihat konstruk ilmu pengetahuan yang merupakan output dari
pendekatan dan konsepsi dasar tersebut.
Namun ada beberapa konsep-konsep dasar yang menjadi
titik persamaan gagasan islamisasi ilmu pengetahuan yang diajukan berbagai
sarjana Muslim. Misalnya jika kita melihat pada dua nama yang cukup berpengaruh
di dunia Islam dan dipandang sebagai pelopor gerakan islamisasi ilmu
pengetahuan: Syed Muhamamd Naquib al-Attas dan Ismail Raji al-Faruqi.
Bagi Al-Attas misalnya, islamisasi ilmu pengetahuan
mengacu kepada upaya mengeliminir unsur-unsur serta konsep-konsep pokok yang
membentuk kebudayaan dan peradaban Barat, khususnya dalam ilmu-ilmu
kemanusiaan. Tercakup dalam unsur-unsur dan konsep ini adalah cara
pandang terhadap realitas yang dualistik, doktrin humanisme, serta tekanan
kepada drama dan tragedi dalam kehidupan rohani sekaligus penguasaan
terhadapnya.
Setelah proses ini dilampaui, langkah berikutnya
adalah menanamkan unsur-unsur dan konsep pokok keislaman. Sehingga dengan
demikian akan terbentuk ilmu pengetahuan yang benar; ilmu pengetahuan yang
selaras dengan fitrah. Dalam bahasa lain, islamisasi ilmu pengetahuan
menurut Al-Atas dapat ditangkap sebagai upaya pembebasan ilmu pengetahuan dari
pemahaman berasaskan ideologi, makna serta ungkapan sekuler. Singkatnya menurut
Al-Attas sukses tidaknya pengembangan islamisasi ilmu tergantung pada posisi
manusia itu sendiri (subjek ilmu dan teknologi).
Sementara menurut Ismail al Faruqi, islamisasi ilmu
pengetahuan dimaknai sebagai upaya pengintegrasian disipilin-disiplin ilmu
modern dengan khazanah warisan Islam.
Langkah pertama dari upaya ini adalah dengan menguasai
seluruh disiplin ilmu modern, memahaminya secara menyeluruh, dan mencapai
tingkatan tertinggi yang ditawarkannya. Setelah prasyarat ini dipenuhi,
tahap berikutnya adalah melakukan eliminasi, mengubah, menginterpretasikan
ulang dan mengadaptasikan komponen-komponennya dengan pandangan dunia Islam dan
nilai-nilai yang tercakup di dalamnya.
Dalam deskripsi yang lebih jelas, islamisasi ilmu pengetahuan
menurut al-Faruqi adalah “upaya mewujudkan prinsip-prinsip Islam dalam
metodologinya, strateginya, dan dalam apa yang dikatakan sebagai data-data,
problemnya, tujuan-tujuannya dan aspirasi-aspirasinya.” Terkait dengan ini maka
setiap disiplin ilmu mesti dirumuskan sejak awal dengan mengkaitkan Islam
sebagai kesatuan yang membentuk tauhid, yaitu kesatuan pengetahuan, kesatuan
kehidupan dan kesatuan sejarah. Ia harus didefinisikan dengan cara baru,
data-datanya diatur, kesimpulan-kesimpulan dan tujuan-tujuannya dinilai dan
dipikir ulang dalam bentuk yang dikehendaki Islam.
Di samping beberapa kesamaan pola dasar islamisasi
ilmu pengetahuan sebagaimana dapat dilihat dari paparan di atas, agaknya ada
segaris perbedaan di antara al-Attas dan al-Faruqi. Al-Faruqi tampaknya
lebih bisa menerima konstruk ilmu pengetahuan modern yang penting baginya
adalah penguasaan terhadap prinsip-prinsip Islam yang dengannya sarjana Muslim
bisa membaca dan menafsirkan konstruk ilmu pengetahuan modern tersebut dengan
cara yang berbeda. Sementara Al-Attas disamping pengaruh sufisme yang
cukup kuat, antara lain dengan gagasan digunakannya takwil dalam kerangka
islamisasi ilmu pengetahuannya lebih menekankan pada dikedepankannya keaslian
(originality) yang digali dari tradisi lokal.
Dalam pandangan Al-Attas, peradaban Islam klasik telah
cukup lama berinteraksi dengan peradaban lain, sehingga umat Islam sudah
memiliki kapasitas untuk mengembangkan bangunan ilmu pengetahuan sendiri. Tanpa
bantuan ilmu pengetahuan barat modern, diyakini dengan merujuk pada khazanahnya
sendiri umat Islam akan mampu menciptakan kebangkitan peradaban.
Agaknya, perbedaan semacam ini, disamping
faktor-faktor personal, yang membuat keduanya memilih mengembangkan gagasannya
di lembaga yang berbeda. Jika al-Attas kemudian berkutat di International
Institute of Islamic Thoughts and Civilization (ISTAC) yang berbasis di
Malaysia. Al-Attas memformulasi dua tujuan pertama dari ISTAC:
1. Untuk mengonseptualisasi, menjelaskan dan
mendefinisikan konsep-konsep penting yang relevan dalam masalah-masalah budaya,
pendidikan, keilmuan dan epistimologi yang dihadapi muslim pada zaman sekarang
ini.
2. Untuk memberikan jawaban Islam terhadap
tantangan-tantangan intelektual dan kultural dari dunia modern dan berbagai
kelompok aliran-aliran pemikiran, agama, dan ideologi.
Sementara itu al-Faruqi menyebarkan gagasannya lewat
International Institute of Islamic Thoughts (IIIT) yang berbasis di Washington
DC, Amerika Serikat. IIIT mendefinisikan dirinya sebagai sebuah “yayasan intelektual
dan kultural” yang tujuannya mencakup:
- Menyediakan
wawasan Islam yang komprehensif melalui penjelasan prinsip-prinsip Islam
dan menghubungkannya dengan isu-isu yang relevan dari pemikiran
kontemporer.
- Meraih
kembali identitas intelektual, kultural dan peradaban umat, lewat
Islamisasi humanitas dan ilmu-ilmu sosial.
- Memperbaiki
metodologi pemikiran Islam agar mampu memulihkan sumbangannya kepada
kemajuan peradaban manusia dan memberikan makna dan arahan, sejalan dengan
nilai-nilai dan tujuan Islam.
- Srategi
dan kerangka kerja dasar islamisasi ilmu pengetahuan[6]
Terdapat beberapa model skematis dalam upaya
islamisasi ilmu pengetahuan. Al Faruqi misalnya menggagaskan sebuah rencana
kerja dengan dua belas langkah:
1. Penguasaan dan kemahiran disiplin ilmu modern:
penguraian kategori
2. Tinjauan disiplin ilmu
3. Penguasaan warisan ilmu Islam: sebuah antologi
4. Penguasaan warisan ilmu Islam: sebuah analisis
5. Penentuan penyesuaian Islam yang khusus terhadap
disiplin ilmu
6. Penilaian kritikal terhadap disiplin ilmu modern:
hakikat kedudukan pada masa kini.
7. Penilaian kritikal terhadap warisan Islam: tahap
perkembangan pada masa kini.
8. Kajian masalah utama umat Islam
9. Kajian tentang masalah yang dihadapi oleh umat
manusia
10. Analisis kreatif dan sintesis
11. Membentuk semua disiplin ilmu modern kedalam rangka
kerja Islam: buku teks
universitas.
12. Penyebaran ilmu pengetahuan islam
Kemudian gagasan tersebut dijadikan lima landasan
objek rencana kerja Islamisasi ilmu pengetahuan, yaitu:
- Penguasaan
disiplin-disiplin ilmu pengetahuan modern.
- Penguasaan
terhadap khazanah atau warisan keilmuan Islam.
- Penerapan
ajaran-ajaran tertentu dalam Islam yang relevan ke setiap wilayah ilmu
pengetahuan modern.
- Mencari
sintesa kreatif antara khazanah atau tradisi Islam dengan ilmu pengetahuan
modern.
- Memberikan
arah bagi pemikiran Islam pada jalur yang memandu pemikiran tersebut ke
arah pemenuhan kehendak Ilahiyah.
Dan juga dapat digunakan alat bantu lain guna
mempercepat islamisasi ilmu pengetahuan adalah dengan mengadakan konferensi dan
seminar-seminar serta melalui lokakarya untuk pembinaan intelektual.
Sementara Al-Attas menguraikan bahwa semua ilmu
pengetahuan masa kini, secara keseluruhan dibangun, ditafsirkan dan
diproyeksikan melalui pandangan dunia, visi intelektual dan persepsi psikologi
dari kebudayaan dan peradaban Barat.
Ilmu pengetahuan Barat-modern dibangun di atas visi
intelektual dan psikologis budaya dan peradaban Barat. (1) Akal diandalkan
untuk membimbing kehidupan manusia; (2) bersikap dualistik terhadap realitas
dan kebenaran; (3) menegaskan aspek eksistensi yang memproyeksikan pandangan
hidup sekular; (4) membela doktrin humanisme; dan (5) menjadikan drama dan
tragedi sebagai unsur-unsur yang dominant dalam fitrah dan eksistensi
kemanusiaan.
Oleh karena itu, Islam harus menjadi acuan yang
menentukan dalam prinsip utama setiap displin ilmu untuk setiap usaha dan
perbuatan manusia. Ada empat poin yang harus diperhatikan, seperti:
1) Prinsip-prinsip utama
Islam sebagai intisari peradaban Islam,
2) Pencapain sejarah
kebudayaan Islam sebagai manifestasi ruang dan waktu dari prinsip-prinsip utama
Islam,
3) Bagaimaan kebudayaan
Islam dibandingkan dan dibedakan dengan kebudayaan lain dari sudut manifestasi
dan intisari,
4) Bagaimaan kebudayaan
Islam menjadi pilihan yang paling bermanfaat berkaitan dengan masalah-masalah
pokok Islam dan non Islam di dunia saat ini.
Faktor lain selaras dengan pandangan di atas adalah
masih menduanya sistem pendidikan. Pertama, sistem pendidikan “modern” dan
kedua, sistem pendidikan “Islam”. Dualisme pendidikan ini melambangkan
kejatuhan umat Islam. Hal ini perlu diatasi, jika tidak sistem dualisme
tersebut akan tetap menjadi penghalang setiap usaha rekontruksi peradaban
Islam.
Renungan ini sangat penting, karena apabila kita
memperhatikan secara cermat, pengalaman masa lampau serta rencana masa depan
menuju satu arah perubahan yang dinginkan, maka harus dimulai dari rumusan
sistem pendidikan yang paripurna. Apa yang telah Al-Attas dan Al-Faruqi
paparkan, itu merupakan langkah “dasar” untuk bertahannya peradaban Islam.
2. Tiga Fase
Islamisasi Ilmu Pengetahuan Kontemporer[7]
Proses islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer
memiliki tiga fase. Prof. Abdel Hamid Sabra, pakar sejarah sains yang berasal
dari Universitas Harvard mengatakan, gerakan penerjemahan yang dilakukan oleh
khalifah al-Ma’mun (w. 833 M) dengan mendirikan perpustakaan yang dinamakan
dengan Bayt al-Hikmah sebagai pusat kajian, menunjukkan fase pertama dari tiga
tahap islamisasi sains. Adapun tahap kedua, yaitu fase peralihan atau akuisisi,
di mana sains Yunani hadir di hadapan peradaban Islam sebagai pendatang atau tamu
yang sengaja diundang (an invited guest), bukan sebagai penjajah atau
perusak (an invading force). Namun pada tahap ini Islam masih menjaga
jarak serta berhati-hati selalu waspada. Kemudian tahap terakhir adalah fase
penerimaan atau adopsi, di sini Islam telah mengambil dan menikmati apa yang
dibawa serta oleh peradaban tersebut.
Pada saat itu pula kemudian lahirlah ilmuwan-ilmuwan
hebat seperti: Jabir ibn Hayyan (w.815 M), al-Kindi (w.873), dan lain-lain.
Proses ini tidak berhenti di sini saja namun terus berlanjut ke tahap asimilasi
dan naturalisasi. Pada fase ini Islam telah mampu membuat dan mengkonsep ulang
ilmu pengetahuan yang syarat akan nilai-nilai keislaman sehingga islam sanggup
menjadi pionir dunia di bidang sains dan teknologi. Fase kematangan ini terus
berlangsung selama kurang lebih 500 tahun lamanya, dan telah ditandai dengan
hasil produktivitas yang tinggi dan tingkat orisinalitas keilmuwan yang
benar-benar luar biasa.
Dari paparan di atas, kini jelaslah sudah bahwa
islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer memiliki kebenaran-kebenaran tertentu
sesuai dengan bingkai ruang dan waktu. Ada satu hal yang mungkin kadang
terlupakan, yakni kesadaran akan setiap hasil pemikiran manusia yang selalu
bersifat historis dan terikat oleh ruang dan waktu. Untuk itu gagasan
islamisasi harus tetap dikembangkan, dilaksanakan, dan kemudian dievaluasi
melalui konsep-konsep, ukuran serta standar sebagai produk “framework
islami” yang selalu melibatkan “worldview Islam”.
C. Kesimpulan
Berdasarkan dari pembahasan diatas dapatlah diambil
kesimpulan bahwa islamisasi ilmu pengetahuan sangatlah penting melihat dari
keadaan umat islam yang hanya menjadi penonton bagi kehancuran dunia ini.
Karena para ilmuan bukan islam ini hanya akan membawa kehancuran bagi
ciptaan-ciptaan Allah swt. Hal-hal yang perlu dan harus dilakukan adalah:
- Generalisai
pemahaman konsep aqidah islam pada seluruh institusi pendidikan khususnya
institusi pendidikan muslim yang ada di Indonesia.
- Human
Resouces Development atau pengembangan sumber daya manusia khususnya bagi
pendidik atau tutor.
- Sosialisasi
konsep aqidah islam pada seluruh aspek kehidupan baik latar belakang
pendidikan maupun non pendidikan.
- Praktek
kerja sebagai terapan dari pemahaman konsep aqidah islam bagi anak didik
secara global baik nasional maupun internasional.
- Evaluasi
diri atau feedback sebagai aktualisasi diri dari pemahaman konsep aqidah
islam tersebut diatas (Islamisasi secara keseluruhan).
No comments:
Post a Comment