Monday, April 15, 2013

SEJARAH PERKEMBANGAN SOSIOLOGI AGAMA

1.    Sejarah Munculnya Ilmu Sosiologi Agama
Kelahiran sosiologi, lazimnya dihubungkan dengan seorang ilmuwan Perancis bernama Auguste Comte (1798-1857), yang dengan kreatif telah menyusun sintesa berbagai macam aliran pemikiran, kemudian mengusulkan untuk mendirikan ilmu tentang masyarakat dengan dasar filsafat empiris yang kuat. Ilmu tentang masyarakat itu pada awalnya oleh Auguste Comte diberi nama “Social Physics” (fisika sosial), kemudian dirubahnya sendiri dengan “Sociology” karena istilah fisika sosial tersebut dalam waktu yang bersamaan digunakan oleh seorang ahli statistik sosial Belgia bernama Adophe Quetelet.[1]

Banyaknya ahli sepakat bahwa banyak faktor yang melatar belakangi kelahiran sosiologi adalah karena adanya krisis-krisis yang terjadi di dalam masyarakat. Misalnya, Laeyendecker mengaitkan kelahiran sosiologi dengan serangkaian perubahan dan krisis yang terjadi di Eropa Barat. Proses perubahan dan krisis yang diidentifikasi Laeyendecker adalah tumbuhnya kapitalisme pada akhir abad ke-15, perubahan-perubahan di bidang sosial-politik, perubahan berkenaan dengan reformasi Martin Luther, meningkatnya individualisme, lahirnya ilmu pengetahuan modern, berkembangnya kepercayaan pada diri sendiri, dan revolusi industri pada abad ke-18, serta terjadinya Revolusi Perancis. Sosiologi acapkali disebut sebagai “ilmu keranjang sampah” (dengan nada memuji), karena membahas ikhwal atau masalah yang lebih banyak terfokus pada problem kemasyarakatan yang timbul akibat krisis-krisis sosial yang terjadi.[2]
Ada pendapat lain, mengapa pengetahuan sosial tidak bisa digolongkan sebagai ilmu. Leonardus Laeyendecker menyebut ada tiga keterbatasan dari pengetahuan sosial, yakni (1) karena pengetahuan sosial diperoleh orang dari lingkungan yang relatif terbatas, (2) karena pengetahuan sosial diperoleh secara selektif menurut emosi-emosi dan karakteristik pribadi masing-masing orang, sehingga besar kemungkinan atau sekurang-kurangnya bukan tidak mungkin muncul bias; (3) karena pengetahuan sosial acapkali diperoleh secara tidak sengaja, main-main, dan karenanya kurang dipikirkan secara mendalam dan tidak selalu ditinjau secara kritis.[3]
Sejak awal kelahirannya, sosiologi banyak dipengaruhi oleh filsafat sosial. Tetapi, berbeda dengan filsafat sosial yang banyak dipengaruhi ilmu alam dan memandang masyarakat sebagai “mekanisme” yang dikuasai hukum-hukum mekanis, sosiologi lebih menempatkan warga masyarakat sebagai individu yang relatif bebas. Para filsuf sosial, seperti Plato dan Aristoteles, umumnya berkeyakinan bahwa seluruh tertib dan keteraturan dunia dan masyarakat langsung berasal dari suatu tertib dan keraturan yang adimanusiawi, abadi, tidak terubahkan, dan anhistoris. Sementara sosiologi justru mempertanyakan keyakinan lama dari para filsuf itu, dan sebagai gantinya muncullah keyakinan baru yang dipandang lebih mencerminkan realitas sosial yang sebenarnya. Para ahli sosiologi telah menyadari bahwa bentuk kehidupan bersama, adalah ciptaan manusia itu sendiri. Bentuk-bentuk masyarakat, gejala pelapisan sosial, dan pola-pola interaksi yang berbeda, sekarang lebih dilihat sebagai hasil inisiatif atau hasil kesepakatan manusia itu sendiri.[4]
Sosiologi mulai memperoleh bentuk dan diakui eksistensinya sekitas abad ke-19, tidaklah berarti bahwa baru pada waktu itu orang memperoleh tentang bagaimana masyarakat dan interaksi sosial. Jauh sebelum Auguste Comte memproklamirkan kehadiran sosiologi, orang-orang telah memiliki pengetahuan tentang kehidupannya yang diperoleh dari pengalamannya. Namun, karena belum dirumuskan dengan metode yang mantap, pengetahuan mereka disebut pengetahuan sosial, bukan pengetahuan ilmiah.[5]
Kemudian Auguste Comte menulis buku-buku tentang berbagai pendekatan umum untuk mempelajari masyarakat. Dia berpendapat bahwa ilmu pengetahuan mempunyai urutan tertentu berdasarkan logika dan setiap penelitian dilakukan melalui tahap-tahap tertentu untuk mencapai tahap akhir, tahap ilmiah. Nama yang diberikan tatkala itu pada ilmu yang baru tersebut pada tahun 1839 adalah “Sosiology” yang berasal dari bahasa Latin socius yang berarti “kawan” dan bahasa Yunani logos yang berarti “kata” atau “berbicara”. Jadi Sosiologi berarti “berbicara mengenai masyarakat”.[6]
Pada tahun 1842, lahirlah Sosiologi tatkala Auguste Comte menerbitkan jilid terakhir dari bukunya yang berjudul The Course of Positive Phylosophy.  Buku tersebut ditulis dan diterbitkan antara tahun 1830-1842, yang merupakan karya utamaya dan mencerminkan suatu komitmen yang kuat terhadap metode ilmiah. Sosiologi sebagai suatu disiplin akademis yang mandiri, telah berusia kurang dari 200 tahun. Sekitar 400 tahun sebelum Auguste Comte mengembangkan perspektif sosiologisnya di Perancis,
Ibn Khaldun telah merumuskan tentang model suku bangsa nomaden yang keras dan masyarakat yang halus bertipe menetap dalam suatu hubungan yang kontras. Model Khaldun mengenai tipe-tipe sosial dan perubahan sosial diwarnai oleh warisan khusus dari pengalaman dunia gurun pasir di Arab. Tujuannya tidak hanya untuk memberikan suatu deskripsi historis mengenai masyarakat Arab, namun untuk mengembangkan prinsip-prinsip umum atau hukum-hukum yang mengatur dinamika-dinamika masyarakat dan proses-proses perubahan sosial secara keseluruhan.[7] Kemudian Herbert Spencer mengembangkan pula suatu sistematika penelitian masyarakat dalam bukunya yang berjudul Principles of Sosiology sehingga kurang lebih setengah abad kemudian sosiologi menjadi berkembang pesat dan populer di Perancis, jerman dan Amerika Serikat.[8]
Sedangkan embrio minat mempelajari fenomena agama dalam masyarakat mulai tumbuh sekitar pertengahan abad ke-19 oleh sejumlah sarjana Barat terkenal seperti Edward B. Tylor (1832-1917), Herbert Spencer (1820-1903), Frederich H. Muller (1823-1917),  James G. Fraser (1854-1941).  Tokoh-tokoh ini lebih tertarik pada agama-agama primitif, namun kajian ilmiah tentang agama relatif mulai sekitar tahun 1900. Sejak saat itu hingga menjelang munculnya buku-buku sosiologi agama, disebut juga Sosiologi Agama Klasik. Periode klasik ini terutama dikuasai oleh dua sosiolog yang terkenal, yaitu Emile Durkheim dari Perancis (1858-1917) dengan karyanya The Elementery Form of Religious Life dan Max Weber dari Jerman (1864-1920) dengan karya monumentalnya The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism  dan Ancient Judaism. Dua sarjana ini lazim disebut sebagai pendiri Sosiologi Agama.
Di kemudian hari, tulisan-tulisan mereka digolongkan oleh para ahli sosiologi ke dalam bagian sosiologi umum. Berdasarkan data-data etnologi yang diperoleh dari bangsa-bangsa di luar Eropa, Durkheim menulis buku yang menarik tentang bentu-bentuk elementer kehidupan religius, sedangkan Weber juga tidak kalah menariknya dengan menulis tentang agama di India dan Cina, karena dari kedua sosiolog tersebut muncul berbagai gagasan penting yang dapat digunakan sebagai prinsip dasar dalam pengembangan ilmu-ilmu sosial.[9]
Menurut Dr. H. Goddijn/ Dr. W. Goddijn, sosiologi agama ialah bagian dari sosiologi umum (versi barat) yang mempelajari suatu ilmu budaya empiris, profan, dan positif yang menuju kepada pengetahuan umum, yang jernih dan pasti dari struktur, fungsi-fungsi dan perubahan kelompok keagamaan dan gejala-gejala kekelompokan keagamaaan.[10]
Secara singkat, sosiologi agama ialah suatu cabang sosiologi umum yang mempelajari masyarakat agama secara sosiologis guna mencapai keterangan-keterangan ilmiah dan pasti demi kepentingan masyarakat agama itu sendiri dan masyarakat luas pada umumnya.

2.    Sejarah Perkembangan Sosiologi Agama di Eropa
Sosiologi termasuk ilmu yang paling muda dari ilmu-ilmu sosial yang dikenal. Seperti ilmu yang lain, perkembangan sosiologi dibentuk oleh setting sosialnya dan sekaligus menjadikannya sebagai basis masalah pokok yang dikaji. Awal mula perkembangan sosiologi bisa dilacak pada saat terjadinya Revolusi Perancis, dan revolusi industri yang terjadi sepanjang abad ke-19 yang menimbulkan kekhawatiran, kecemasan dan sekigus perhatian dari para pemikir di waktu itu tentang dampak yang ditimbulkan dari perubahan dahsyat di bidang politik dan ekonomi kapitalistik di masa itu.[11]
Menurut Berger, sosiologi berkembang menjadi ilmu yang berdiri sendiri karena adanya ancaman terhadap tatanan sosial yang selama ini dianggap sudah seharusnya demikian nyata dan benar (threats to the taken for granted world). L. Langendecker mengidentifikasi ancaman tersebut meliputi:
a.    Terjadinya dua revolusi, yakni revolusi industri dan revolusi Prancis.
b.    Tumbuhnya kapitalisme pada akhir abad ke-15.
c.    Perubahan di bidang sosial dan politik.
d.   Perubahan yang terjadi akibat gerakan reformasi yang dicetuskan Martin Luther.
e.    Meningkatnya individualism.
f.       Lahirnya ilmu pengetahuan modern,
g.    Berkembangnya kepercayaan pada diri sendiri.
Perkembangan sosiologi yang makin mantap terjadi tahun 1895, yakni pada saat Emile Durkheim menerbitkan bukunya yang berjudul Rules of Sociological Method. Pada saat ini diakui banyak pihak sebagai “Bapak Metodologi Sosiologi”, dan bahkan Reiss lebih setuju menyebutkan Emile Durkheim sebagai penyumbang utama kemunculan sosiologi.
Pendiri sosiologi lainnya, Max Weber memiliki pendekatan yang berbeda dengan Durkheim. Menurut Weber, sebagai ilmu yang mencoba memahami masyarakat dan perubahan-perubahan yang terjadi di dalamnya, Sosiologi tidak semestinya berkutat pada soal-soal pengukuran yang sifatnya kuantitatif dan sekedar mengkaji pengaruh faktor-faktor eksternal, tetapi yang lebih penting sosiologi bergerak pada upaya memahami di tingkat makna, dan mencoba mencari penjelasan pada faktor-faktor internal yang ada di masyarakat itu sendiri[12]
Memasuki abad ke-20, perkembangan sosiologi makin variatif. Dipelopori tokoh-tokoh ilmu sosial kontemporer, terutama Anthony Giddens, fokus minat sosiologi dewasa ini bergeser dari structures ke agency, dari masyarakat yang dipahami terutama sebagai seperangkat batasan eksternal yang membatasi bidang pilihan yang bersedia untuk anggota-anggota masyarakat tersebut, dan dalam beberapa hal menentukan perilaku mereka, menuju ke era baru, memahami latar belakang sosial sebagai kumpulan sumber daya yang diambil oleh aktor-aktor untuk mengejar kepentingan mereka sendiri.[13]
Pada permulaan abad ke-20, gelombang besar imigran berdatangan ke Amerika Utara. Gejala itu berakibat pesatnya pertumbuhan penduduk, munculnya kota-kota industri baru, bertambahnya kriminalitas dan lain lain. Konsekuensi gejolak sosial itu, perubahan besar masyarakat pun tak terelakkan.
Perubahan masyarakat itu menggugah para ilmuwan sosial untuk berpikir keras, untuk sampai pada kesadaran bahwa pendekatan sosiologi lama ala Eropa tidak relevan lagi. Mereka berupaya menemukan pendekatan baru yang sesuai dengan kondisi masyarakat pada saat itu. Maka lahirlah sosiologi modern.
Berkebalikan dengan pendapat sebelumnya, pendekatan sosiologi modern cenderung mikro (lebih sering disebut pendekatan empiris). Artinya, perubahan masyarakat dapat dipelajari mulai dari fakta sosial demi fakta sosial yang muncul. Berdasarkan fakta sosial itu dapat ditarik kesimpulan perubahan masyarakat secara menyeluruh. Sejak saat itulah disadari betapa pentingnya penelitian (research) dalam sosiologi.
Pada era tahun 2000-an ini, perkembangan sosiologi semakin mantap dan kehadirannya diakui banyak pihak memberikan sumbangan yang sangat penting bagi usaha pembangunan dan kehidupan sehari-hari masyarakat. Bidang-bidang kajian sosiologi juga terus berkembang makin variatif dan menembus batas-batas disiplin ilmu lain. Horton dan Hunt, misalnya mencatat sejumlah bidang kajian sosiologi yang saat ini telah dikenal dan banyak dikembangkan. Di tahun-tahun berikut, seiring dengan perkembangan masyarakat yang semakin komplek, bisa diramalkan bahwa perkembangan sosiologi juga akan makin beragam dan makin penting.[14]
 Karl Marx merupakan Tokoh sentral dalam dalam sosiologi, walaupun terdapat berbagai tokoh besar sosiologi yang berjasa membangun ilmu sosiologi sebagai pengetahuan namun jika dilihat dari perkembangan sosiologi banyak mengadopsi dan merupakan hasil dari kritisi terhadap Marx. Karl Marx sendiri tidak mengakui dia adalah seorang sosiolog, tetapi secara fundamental Marx telah melahirkan konsep sosiologi yang masih relevan dengan semakin berubahnya zaman, seperti konsep Alineasi, dialektika, Materialisme historis, Konsep kelas dan sebagaainnya. Konsep sosial Marx bukan hanya menjadi imajinasi semata tetapi telah dibuktikan dan diadopsi oleh berbagai negara di dunia, di Uni Soviet Marx dianggap sebagai “Nabi Kemanusian” yang mengajarkan kepada manusia arti sebuah kehidupan dan keadilan. Konsep sosial Marx menghasilkan Negara Uni Soviet yang dibentuk melalui pemikiran-pemikiran Marx yang diinterpretasikan oleh Lenin dan Stalin.
Agama dalam sosiologi merupakan suatu kajian yang sangat penting dalam sosiologi, bahkan para pendahulu sosiologi baik itu August Comte, Karl Marx, Emile Durkheim, Max Weber selalu membahas agama dalam konsep sosiologinya. Marx adalah tokoh yang hidup dimasa revolusi sehingga Marx mengalami sendiri realitas masyarakat di era tersebut, sehingga pembacaan terhadap agama pun secara konteks sangat dipengaruhi oleh sosial kultural masyarakat Eropa di abad pertengahan.
Marx menkonsepsikan kehidupan dalam suatu basis materialisme yang universal yang menjadi penggerak sejarah, yaitu struktur basis yang merupakan penggerak utama struktur supra. Struktur basis adalah ekonomi yang mencangkup seluruh proses ekonomi baik produksi, konsumsi, persaingan ekonomi, dan sebagainya. Sedangkan struktur supra terdiri dari berbagai sektor misalnya politik, ekonomi, budaya, dan sebagainya, struktur supra ini merupakan representasi (gambaran) dari struktur basis.
Ekonomi adalah pondasi dasar sejarah kehidupan manusia, karena ekonomi merupakan induk dari segala sub struktur kehidupan yang melahirkan berbagai basis supra. Jika kita menelaah dari perspektif ibnu Khaldun dalam bukunya al-Muqaddimah maka akan kita temukan alur pemikiran Ibnu Khaldun yang senada dengan Karl Marx, walaupun secara esensinya personalisasinya berbeda. Ibnu Khaldun mengatakan bahwa “ Kodrat manusia tidak cukup hanya memperoleh makanan. Sekalipun makanan itu ditekan sedikit-dikitnya sekedar cukup untuk makan sehari-hari saja, misalnya sedikit gandum, namun diperlukan usaha yang banyak juga. Misalnya menggiling, meramas, memasak. Masing-masing pekerjaan membutuhkan sejumlah alat, dan hal inipun menuntut pekerjaan tangan yang lebih banyak lagi dari yang telah disebutkan diatas”.[15]
 Manusia tidak dapat memenuhi kebutuhan dirinya kecuali dengan bergotong royong dan saling tolong menolong dengan menggabungkan dengan beberapa ahli. Dalam al-Qur'an pun telah dijelaskan sebagai berikut:

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلا تَعَاوَنُوا عَلَى الإثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.” (Al-Maidah ayat 2)
Struktur basis dalam konteks Marx adalah bangunan dasar atau pondasi pokok dalam sejarah atau kehidupan manusia, dimana struktur basis ini adalah yang melahirkan struktur supra. Agama, politik, budaya dan sebagainya dilahirkan dari ekonomi, asumsi dasar Marx adalah ketika manusia menjauh dari Ekonomi atau untuk memperkuat kelancaran ekonomi maka manusia akan berpaling atau membentuk struktur yang lain yang mendukunggnya. Mengapa agama lahir dari ekonomi? Pertanyaan ini dapat dijawab menggunakan filsafat yang sederhana “ pada manusia primitif agama difungsikan untuk menggambarkan rasa syukur karena panen yang melimpah atau sebagai ritual pengorbanan untuk mempersembahkan korban karena gagal panen atau terserang wabah penyakit”. Artinya dalam tesis filsafat tadi agama hanya dijadikan alat sebagai pemenuhan hasrat ekonomi dan ketakutan manusia.
Marx menafsirkan agama sebagai candu bagi masyarakat “ Kesukaran agama- agama pada saat yang sama merupakan ekspresi dari kesukaran yang sebenarnya dan protes melawan kesukaran yang sebenarnya. Agama adalah nafas lega makhluk tertindas, hatinya dunia yang tidak punya hati, spirit kondisi yang tanpa spirit. Agama adalah candu masyarakat” (Marx, 1843/1970).[16]

3.    Sejarah Perkembangan sosiologi di Indonesia
Sosiologi di Indonesia sebenarnya telah berkembang sejak zaman dahulu. Walaupun tidak mempelajari sosiologi sebagai ilmu pengetahuan, para pujangga dan tokoh bangsa Indonesia telah banyak memasukkan unsur-unsur sosiologi dalam ajaran-ajaran mereka.
Sri Paduka Mangkunegoro IV, misalnya, telah memasukkan unsur tata hubungan manusia pada berbagai golongan yang berbeda (intergroup relation) dalam ajaran Wulang Reh. Selanjutnya, Ki Hadjar Dewantara yang dikenal sebagai peletak dasar pendidikan nasional Indonesia banyak  mempraktikkan konsep - konsep penting sosiologi seperti kepemimpinan dan kekeluargaan dalam proses pendidikan di Taman Siswa yang didirikannya.[17]
Hal yang sama dapat juga kita selidiki dari berbagai karya tentang Indonesia yang ditulis oleh beberapa orang Belanda seperti Snouck Hurgronje dan Van Volenhaven sekitar abad 19. Mereka menggunakan unsur-unsur sosiologi sebagai kerangka berpikir untuk memahami masyarakat Indonesia. Snouck Hurgronje, misalnya, menggunakan pendekatan sosiologis untuk memahami masyarakat Aceh yang hasilnya dipergunakan oleh pemerintah Belanda untuk menguasai daerah tersebut.
Dari uraian di atas terlihat bahwa sosiologi di Indonesia pada awalnya, yakni sebelum Perang Dunia II hanya dianggap sebagai ilmu pembantu bagi ilmu-ilmu pengetahuan lainnya. Dengan kata lain, sosiologi belum dianggap cukup penting untuk dipelajari dan digunakan sebagai ilmu pengetahuan, yang terlepas dari ilmu-ilmu pengetahuan yang lain.
Secara formal, Sekolah Tinggi Hukum (Rechtsshogeschool) di Jakarta pada waktu itu menjadi saru-satunya lembaga perguruan tinggi yang mengajarkan mata kuliah sosiologi di Indonesia walaupun hanya sebagai pelengkap mata kuliah ilmu hukum. Namun, seiring perjalanan waktu, mata kuliah tersebut kemudian ditiadakan dengan alasan bahwa pengetahuan tentang bentuk dan susunan masyarakat beserta proses-proses yang terjadi di dalamnya tidak diperlukan dalam pelajaran hukum. Dalam pandangan mereka, yang perlu diketahui hanyalah perumusan peraturannya dan sistem-sistem untuk menafsirkannya. Sementara, penyebab terjadinya sebuah peraturan dan tujuan sebuah peraturan dianggap tidaklah penting.
Setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, sosiologi di Indonesia mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Adalah Soenario Kolopaking yang pertama kali memberikan kuliah sosiologi dalam bahasa Indonesia pada tahun 1948 di Akademi Ilmu Politik Yogyakarta (sekarang menjadi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UGM). Akibatnya, sosiologi mulai mendapat tempat dalam insan akademisi di Indonesia apalagi setelah semakin terbukanya kesempatan bagi masyarakat Indonesia untuk menuntut ilmu di luar negeri sejak tahun 1950. Banyak para pelajar Indonesia yang khusus memperdalam sosiologi di luar negeri, kemudian mengajarkan ilmu itu di Indonesia.
Buku sosiologi dalam bahasa Indonesia pertama kali diterbitkan oleh Djody Gon dokusumo dengan judul Sosiologi Indonesia yang memuat beberapa pengertian mendasar dari sosiologi. Kehadiran buku ini mendapat sambutan baik dari golongan terpelajar di Indonesia mengingat situasi revolusi yang terjadi saat itu. Buku ini seakan mengobati kehausan mereka akan ilmu yang dapat membantu mereka dalam usaha memahami perubahan-perubahan yang terjadi demikian cepat dalam masyarakat Indonesia saat itu. Selepas itu, muncul buku sosiologi yang diterbitkan oleh Bardosono yang merupakan sebuah diktat kuliah sosiologi yang ditulis oleh seorang mahasiswa.[18]
Selanjutnya bermunculan buku-buku sosiologi baik yang tulis oleh orang Indonesia maupun yang merupakan terjemahan dari bahasa asing. Sebagai contoh, buku Social Changes in Yogyakarta karya Selo Soemardjan yang terbit pada tahun 1962.
Tidak kurang pentingnya, tulisan-tulisan tentang masalah-masalah sosiologi yang tersebar di berbagai majalah, koran, dan jurnal. Selain itu, muncul pula fakultas ilmu sosial dan politik berbagai universitas di Indonesia di mana sosiologi mulai dipelajari secara lebih mendalam bahkan pada beberapa Universitas, didirikan jurusan sosiologi yang diharapkan dapat mempercepat dan memperluas perkembangan sosiologi di Indonesia.

          ANALISIS
Sebagai suatu disiplin ilmu, sosiologi termasuk suatu disiplin ilmu yang umurnya masih relatif muda yaitu kurang dari 200 tahun. Istilah sosiologi untuk pertama kali diciptakan oleh Auguste Comte dan oleh karenanya Comte sering disebut sebagai bapak sosiologi. Istilah sosiologi ia tuliskan dalam karya utamanya yang pertama, berjudul The Course of Positive Philosophy, yang diterbitkan dalam tahun 1838. Karyanya mencerminkan suatu komitmen yang kuat terhadap metode ilmiah. Menurut Comte ilmu sosiologi harus didasarkan pada observasi dan klasifikasi yang sistematis bukan pada kekuasaan dan spekulasi. Hal ini merupakan pandangan baru pada saat itu.
Di Inggris pada tahun 1876, Herbert Spencer menerbitkan bukunya Principle of Sociology. Ia menerapkan teori evolusi organik pada masyarakat manusia dan mengembangkan teori besar tentang “evolusi sosial” yang diterima secara luas beberapa puluh tahun kemudian.[19]
Lester F. Ward di Amerika menerbitkan bukunya “Dynamic Sociology” dalam tahun 1883, menghimbau kemajuan sosial melalui tindakan-tindakan sosial yang cerdik yang harus diarahkan oleh para sosiolog.
Emile Durkheim di Prancis menunjukkan pentingnya metodologi ilmiah dalam sosiologi. Dalam bukunya Rules of Sociological Method yang diterbitkan tahun 1895, menggambarkan metodologi yang kemudian ia teruskan penelaahannya dalam bukunya berjudul Suicide yang diterbitkan pada tahun 1897. Buku itu memuat tentang sebab-sebab bunuh diri, pertama-tama ia merencanakan disain risetnya dan kemudian mengumpulkan sejumlah besar data tentang ciri-ciri orang yang melakukan bunuh diri dan dari data tersebut ia menarik suatu teori tentang bunuh diri.
Kuliah-kuliah sosiologi muncul di berbagai Universitas sekitar tahun 1890-an. The American Journal of Sociology memulai publikasinya pada tahun 1895 dan The American Sociological Society (sekarang bernama American Sociological Association) diorganisasikan dalam tahun 1905. Sosiolog Amerika kebanyakan berasal dari pedesaan dan mereka kebanyakan pula berasal dari para pekerja sosial; sosiolog Eropa sebagian besar berasal dari bidang-bidang sejarah, ekonomi politik atau filsafat.
Urbanisasi dan industrialisasi di Amerika pada tahun 1900-an telah menciptakan masalah sosial. Hal ini mendorong para sosiolog Amerika untuk mencari solusinya. Mereka melihat sosiologi sebagai pedoman ilmiah untuk kemajuan sosial. Sehingga kemudian ketika terbitnya edisi awal American Journal of Sociology isinya hanya sedikit yang mengandung artikel atau riset ilmiah, tetapi banyak berisi tentang peringatan dan nasihat akibat urbanisasi dan industrialisasi. Sebagai contoh suatu artikel yang terbit di tahun 1903 berjudul “The Social Effect of The Eight Hour Day” tidak mengandung data faktual atau eksperimental. Tetapi lebih berisi pada manfaat sosial dari hari kerja yang lebih pendek.
Namun pada tahun 1930-an beberapa jurnal sosiologi yang ada lebih berisi artikel riset dan deskripsi ilmiah. Sosilogi kemudian menjadi suatu pengetahuan ilmiah dengan teorinya yang didasarkan pada obeservasi ilmiah, bukan pada spekulasi-spekulasi.[20]
Para sosiolog tersebut pada dasarnya merupakan ahli filsafat sosial. Mereka mengajak agar para sosiolog yang lain mengumpulkan, menyusun, dan mengklasifikasikan data yang nyata, dan dari kenyataan itu disusun teori sosial yang baik.
Bapak Pendiri Sosiologi (The Founding Fathers Of Sosiology) yang sampai kini pikirannya masih dipakai dalam teori sosiologi, yaitu Auguste Comte, Karl Marx, Max Weber, dan Emile Durkheim. Pandangan mereka telah memberi stimulan diskusi panjang tentang pelbagai persoalan terkait dgn kehidupan ekonomi, politik, dan kebudayaan. Pandangan mereka juga digunakan dalam disiplin ilmu social lain seperti ilmu politik, ekonomi, antropologi, dan sejarah.[21]
Sedangkan di Indonsia sendiri sejak jaman kerajaan di Indonesia sebenarnya para raja dan pemimpin di Indonesia sudah mempraktikkan unsur-unsur Sosiologi dalam kebijakannya begitu pula para pujangga Indonesia. Misalnya saja Ajaran Wulang Reh yang diciptakan oleh Sri Paduka Mangkunegoro dari Surakarta, mengajarkan tata hubungan antara para anggota masyarakat Jawa yang berasal dari golongan-golongan yang berbeda, banyak mengandung aspek-aspek Sosiologi, terutama dalam bidang hubungan antar golongan (intergroup relations).
Ki Hajar Dewantoro, pelopor utama pendidikan nasional di Indonesia, memberikan sumbangan di bidang sosiologi terutama mengenai konsep-konsep kepemimpinan dan kekeluargaan di Indonesia yang dengan nyata di praktikkan dalam organisasi pendidikan Taman Siswa.
Pada masa penjajahan Belanda ada beberapa karya tulis orang berkebangsaan belanda yang mengambil masyarakat Indonesai sebagai perhatiannya seperti Snouck Hurgronje, C. Van Vollenhoven, Ter Haar, Duyvendak dll. Dalam karya mereka tampak unsur-unsur Sosiologi di dalamnya yang dikupas secara ilmiah tetapi kesemuanya hanya dikupas dalam kerangka non sosiologis dan tidak sebagai ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri. Sosiologi pada waktu itu dianggap sebagai Ilmu pembantu bagi ilmu-ilmu pengetahuan lainnya. Dengan kata lain Sosiologi ketika itu belum dianggap cukup penting dan cukup dewasa untuk dipelajari dan dipergunakan sebagai ilmu pengetahuan, terlepas dari ilmu-ilmu pengetahuan lainnya.
Kuliah-kuliah Sosiologi mulai diberikan sebelum Perang Dunia ke dua diselenggarakan oleh Sekolah Tinggi Hukum (Rechtshogeschool) di Jakarta. Inipun kuliah Sosiologi masih sebagai pelengkap bagi pelajaran Ilmu Hukum. Sosiologi yang dikuliahkan sebagin besar bersifat filsafat Sosial dan Teoritis, berdasarkan hasil karya Alfred Vierkandt, Leopold Von Wiese, Bierens de Haan, Steinmetz dan sebagainya.
Pada tahun 1934/1935 kuliah-kuliah Sosiologi pada sekolah Tinggi Hukum tersebut malah ditiadakan. Para Guru Besar yang bertaggung jawab menyusun daftar kuliah berpendapat bahwa pengetahuan dan bentuk susunan masyarakat beserta proses-proses yang terjadi di dalamnya tidak diperlukan dalam pelajaran hukum.
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, seorang sarjana Indonesia yaitu Soenario Kolopaking, untuk pertama kalinya member kuliah sosiologi (1948) pada Akademi Ilmu Politik di Yogyakarta (kemudia menjadi Fakultas Sosial dan Ilmu Politik UGM . Beliau memberika kuliah dalam bahasa Indonesai ini merupakan suatu yang baru, karena sebelum perang dunia ke dua semua perguruan tinggi diberikan da;am bahasa Belanda. Pada Akademi Ilmu Politik tersebut, sosiologi juga dikuliahkan sebagai ilmu pengetahuan dalam Jurusan Pemerintahan dalam Negeri, hubungan luar negeri dan publisistik. Kemudian pendidkikan mulai di buka dengan memberikan kesempatan kepara para mahasiswa dan sarjana untuk belajar di luar negeri sejak tahun 1950, mulailah ada beberapa orang Indonesia yang memperdalam pengetahuan tentang sosiologi.
Buku Sosiologi mulai diterbitkan sejak satu tahun pecahnya revolus fisik. Buku tersebut berjudul Sosiologi Indonesai oleh Djody Gondokusumo, memuat tentang beberapa pengertian elementer dari Sosiologi yang teoritis dan bersifat sebagai Filsafat.
Selanjutnya buku karangan Hassan Shadily dengan judul Sosilogi Untuk Masyarakat Indonesia yang merupakan merupakan buku pelajaran pertama yang berbahasa Indonesia yang memuat bahan-bahan sosiologi yang modern.
Para pengajar sosiologi teoritis filosofis lebih banyak mempergunakan terjemahan buku-bukunya P.J. Bouman, yaitu Algemene Maatschapppijleer dan Sociologie, bergrippen en problemen serta buku Lysen yang berjudul Individu en Maatschapppij.
Buku-buku Sosiologi lainnya adalah Sosiologi Suatu Pengantar Ringkas karya Mayor Polak, seorang warga Negara Indonesia bekas anggota Pangreh Praja Belanda, yang telah mendapat pelajaran sosiologi sebelum perang dunia kedua pada universitas Leiden di Belanda. Beliau juga menulis buku berjudul Pengantar Sosiologi Pengetahuan, Hukum dan politik terbit pada tahun 1967. Penulis lainnya Selo Soemardjan menulis buku Social Changes in Yogyakarta pada tahun 1962. Selo Soemardjan bersama Soelaeman Soemardi, menghimpun bagian-bagian terpenting dari beberapa text book ilmu sosiologi dalam bahasa Inggris yang disertai dengan pengantar ringkas dalam bahasa Indonesia dirangkum dalam buku Setangkai Bunga Sosiologi terbit tahun 1964.[22]
Dewasa ini telah ada sejumlah Universitas Negeri yang mempunyai Fakultas Sosial dan politik atau Fakultas Ilmu Sosial. Sampai saat ini belum ada Universitas yang mngkhususkan sosiologi dalam suatu fakultas sendiri, namun telah ada Jurusan Sosiologi pada beberapa fakultas Sosial dan Politik UGM, UI dan UNPAD.
Penelitian-penelitian sosiologi di Indonesai belum mendapat tempat yang sewajarnya, oleh karena masyarakat masih percaya pada angka-angka yang relative mutlak, sementara sosiologi tidak akan mungkin melakukan hal-hal yang berlaku mutlak disebabkan masing-masing manusia memiliki kekhususan. Apalagi masyarakat Indonesai merupakan masyarakat majemuk yang mencakup bermacam-macam suku.

KESIMPULAN
Dari pemaparan diatas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1.    Kelahiran sosiologi lazimya dihubungkan dengan seorang ilmuwan Perancis bernama Auguste Comte (1798-1857). Ilmu tentang masyarakat Auguste Comte itu pada awalnya diberi nama “Social Physics” (fisika sosial), kemudian dirubahnya sendiri dengan “Sociology” karena istilah fisika sosial tersebut dalam waktu yang bersamaan digunakan oleh seorang ahli statistik sosial Belgia bernama Adophe Quetelet. Banyaknya ahli sepakat bahwa banyak faktor yang melatarbelakangi kelahiran sosiologi salah satunya karena adanya krisis-krisis yang terjadi di dalam masyarakat. Misalnya, Laeyendecker mengaitkan kelahiran sosiologi dengan serangkaian perubahan dan krisis yang terjadi di Eropa Barat.
2.    Awal mula perkembangan sosiologi yaitu saat terjadinya Revolusi Perancis dan revolusi industri yang terjadi sepanjang abad ke-19, kemudian Herbert Spencer mengembangkan pula suatu sistematika penelitian masyarakat dalam bukunya yang berjudul Principles of Sosiology sehingga kurang lebih setengah abad kemudian sosiologi menjadi berkembang pesat dan populer di Perancis, jerman dan Amerika Serikat. Perkembangan sosiologi yang makin mantap terjadi tahun 1895, yakni pada saat Emile Durkheim menerbitkan bukunya yang berjudul Rules of Sociological Method. Memasuki abad ke-20, perkembangan sosiologi makin variatif. Dipelopori tokoh-tokoh ilmu sosial kontemporer, terutama Anthony Giddens, Pada era tahun 2000-an ini, perkembangan sosiologi semakin mantap dan kehadirannya diakui banyak pihak memberikan sumbangan yang sangat penting bagi usaha pembangunan dan kehidupan sehari-hari masyarakat. Di tahun-tahun berikut, seiring dengan perkembangan masyarakat yang semakin komplek, bisa diramalkan bahwa perkembangan sosiologi juga akan makin beragam dan makin penting
3.    Sosiologi di Indonesia sudah ada sejak dahulu, pada awalnya, yakni sebelum Perang Dunia II hanya dianggap sebagai ilmu pembantu bagi ilmu-ilmu pengetahuan lainnya. Sri Paduka Mangkunegoro IV telah memasukkan unsur tata hubungan manusia pada berbagai golongan yang berbeda (intergroup relation) dalam ajaran Wulang Reh. Selanjutnya, Ki Hadjar Dewantara yang dikenal sebagai peletak dasar pendidikan nasional Indonesia banyak  mempraktikkan konsep - konsep penting sosiologi seperti kepemimpinan dan kekeluargaan dalam proses pendidikan di Taman Siswa yang didirikannya. Setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, sosiologi di Indonesia mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Orang Indonesia yang pertama kali memberikan kuliah sosiologi dalam bahasa Indonesia yaitu Soenario Kolopaking pada tahun 1948 di Akademi Ilmu Politik Yogyakarta (sekarang menjadi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UGM). Pada saat itulah sosiologi mulai mendapat tempat dalam insan akademisi di Indonesia apalagi setelah semakin terbukanya kesempatan bagi masyarakat Indonesia untuk menuntut ilmu di luar negeri sejak tahun 1950. Banyak para pelajar Indonesia yang khusus memperdalam sosiologi di luar negeri, kemudian mengajarkan ilmu itu di Indonesia. Buku sosiologi dalam bahasa Indonesia pertama kali diterbitkan oleh Djody Gon dokusumo dengan judul Sosiologi Indonesia yang memuat beberapa pengertian mendasar dari sosiologi. Kehadiran buku ini mendapat sambutan baik dari golongan terpelajar di Indonesia mengingat situasi revolusi yang terjadi saat itu. Setelah itu muncul bermacam-macam buku sosiologi yang ditulis oleh orang Indonesia maupun yang diterjemahkan dari bahasa asing.

DAFTAR RUJUKAN

George Ritzer, Douglas, J. Goodman, 2007, Teori  Sosiologi Modern , Jakarta: Kencana
Ibnu Khaldun, 2000 AL-Muqaddimah, Jakarta: PT Pustaka Firdaus
Ishomuddin, 2002. Pengantar Sosiologi Agama, Jakarta:  PT. Ghalia Indonesia-UMM Press.
Kahmad, Dadang, 2000. Sosiologi Agama. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Narwoko J. Dwi, Bagong Suyanto, 2007. Sosiologi, Teks Pengantar dan Terapan. Jakarta: Kencana
Zulfi Mubarok, 2011. Sosiologi Agama. Malang: UIN Press.




[1]Zulfi Mubaraq. Sosiologi Agama. (Malang: UIN Press, 2010) , 7.
[2] Ibid, 8.
[3] Ibid. 9
[4] Ibid,
[5] Ibid.
[6] Ibid, 10
[7] Ibid.
[8] Ibid.
[9] Ibid, 7
[10] Puspito,Hendro.  Sosiologi Agama. (Yogyakarta: Kanisius, 1988), 32
[11] Zulfi Mubaraq, lihat hlm 1.
[12] Ibid
[13] Ibid, 11.
[14] Ibid. 
[15] Ibnu Khaldun, AL-Muqaddimah, ( Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 2000 diterjemahkan oleh Ahmadie Thoha), hlm. 71
[16] George Ritzer, Douglas, J. Goodman, Teori  Sosiologi Modern , (Jakarta: Kencana, 2007), hlm.74
[17] Ishomuddin, Pengantar Sosiologi Agama (Jakarta:  PT. Ghalia Indonesia-UMM Press, 2002)
[18] Kahmad, Dadang. Sosiologi Agama. (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2000). Hlm 34.
[19] Zulfi Mubaraq, Lihat hlm 10
[20] Kahmad, Dadang. Sosiologi Agama, 38.

No comments:

Post a Comment