Monday, April 15, 2013

KODIFIKASI HADITS PADA ABAD KE II HIJRIYAH



Keberadaan hadits sebagai salah satu sumber hukum dalam Islam memiliki sejarah perkembangan dan penyebaran yang kompleks. Sejak dari masa pra-kodifikasi, zaman Nabi, Sahabat, dan Tabi’in hingga setelah pembukuan pada abad ke-2 H.
Perkembangan hadits pada masa awal lebih banyak menggunakan lisan, dikarenakan larangan Nabi untuk menulis hadits. Larangan tersebut berdasarkan kekhawatiran Nabi akan tercampurnya nash al-Qur'an dengan hadits. Selain itu, juga disebabkan fokus Nabi pada para sahabat yang bisa menulis untuk menulis al-Qur'an. Larangan tersebut berlanjut sampai pada masa Tabi'in Besar. Bahkan Khalifah Umar ibn Khattab sangat menentang penulisan hadits, begitu juga dengan Khalifah yang lain. Untuk menjaga keutuhan dan keaslian Hadits Nabi maka kholifah Umar bin Abdul Aziz memprakarsai pentadwidan Hadits, dengan alasan beliau khawatir kalu hadits tidak dibukukan maka Hadits dapat menghilang dengan begitu saja padahal Hadits merupakan sumber hukum kedua setelah Alqur’an. Periodisasi penulisan dan pembukuan hadits secara resmi dimulai pada masa pemerintahan Khalifah Umar ibn Abd al-Aziz (abad 2 H).
Terlepas dari naik-turunnya perkembangan hadits, tak dapat dinafikan bahwa sejarah perkembangan hadits memberikan pengaruh yang besar dalam sejarah peradaban Islam.

1.    Latar Belakang Kodifikasi (Tadwin) Hadits
Pembukuan hadits dimulai pada akhir abad pertama Hijriah, dan rampung pada pertengahan abad ketiga. Hal ini tidak lepas dari adanya dorongan pembukuan hadits oleh Khalifah ‘Umar Ibn ‘Abd al-’Aziz (w. 102 H.) dari Bani Umayyah. Pada waktu itu Umar Bin Abdul Aziz (Khalifah ke-8 Bani Umayyah) yang naik tahta pada tahun 99 H berkuasa. Beliau ini dikenal sebagai orang yang adil dan wara’ bahkan sebagian ulama menyebutnya sebagai Khulafaur Rasyidin yang ke-5, tergeraklah hatinya untuk membukukan hadits dengan motif :
·      Beliau khawatir ilmu hadits akan hilang karena belum dibukukan dengan baik.
·      Kemauan beliau untuk menyaring hadits palsu (maudhu’) yang banyak beredar.
·      Al-Qur’an sudah dibukukan dalam mushaf, sehingga tidak ada lagi kekhawatiran tercampur dengan hadits bila hadits dibukukan.
·      Peperangan dalam penaklukan negeri negeri yang belum Islam dan peperangan antar sesama kaum Muslimin banyak terjadi, dikhawatirkan ulama hadits berkurang karena wafat dalam peperangan – peperangan tersebut.
Secara garis besar  peran pemalsuan Hadits dikategorikan menjadi 3 yaitu:
a.    Propagandis Politik
Perpecahan umat islam yang diakibatkan politik yang terjadi pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap perpecahan umat kedalam beberapa golongan dan kemunculan hadits-hadits palsu. Contoh Hadits palsu yang dibuat oleh kaum Syi’ah, yang artinya sebagai berikut:”Wahai Ali, Sesungguhnya Allah SWT telah mengampunimu, keturunanmu,  kedua orangtuamu, keluargamu, (golongan) syi’ahmu dan orang yang mencintai (golongan) syi’ahmu”.
b.    Golongan Zindiq
   Adalah golongan yang membenci Islam sebagai agama, atau sebagai dasar pemerintahan. Pada masa Muhammad bin Sulaiman bin Ali (Wali wilayah Basrah), menghukum mati Abdul Karim Ibn Auja’ karena dia membuat hadits palsu, ketika hukuman akan dilakukan dia  mengatakan bahwa dia telah membuat hadits palsu sebanyak 4000 hadits. Contoh Hadits yang dibuat oleh kaum zindiq, yang artinya sebagai berikut:
                                   “Melihat wajah cantik termasuk ibadah”.
c.    Ahli Cerita/Dongeng
   Menurut riwayat Ibn Aljawji, Shu’bah pernah menolak Hadits yang dibawa oleh tukang cerita dengan alasan kebiasaan mereka, yaitu menerima Hadits sejengakal kemudian diriwayatkan sedepa, dengan pengertian memberikan penambahan terhadap Hadits.
   Sufyan Al-Sauri mencatat tiga macam Hadits dengan penilaian yang berbeda-beda yaitu:
1)   Hadits yang dimaksud sebagai pegangan,yang tentunya Hadits yang dinilai kuat.
2)   Hadits yang diragukan, sehingga dinilai tawaqquf, tidak dibuang tetapi juga tidak dijadikan pegangan.
3)   Hadits dari rawi yang lemah,hanya untuk diketahui saja.
Dengan alasan demikian maka khalifah Umar bin Abdul Aziz mengambil keputusan untuk mengirim surat kepada penduduk Madinah yang banyak menghafal hadits, dan mendorong umat islam untuk ikut serta dalam mendiskusikan haditssertamengirim surat ke Gubernur Madinah Abu Bakr Muhammad bin Amr bin Hazm. Kepada Gubernur Madinah beliau memberi perintah yang berbunyi “perhatikan atau periksalah hadits-hadits Rasul SAW kemudian tuliskanlah ! aku khawatir akan lenyapnya ilmu dengan meninggalnya para ulama’. Dan janganlah kamu terima kecuali hadits Rasul SAW”. Perintah yang demikian juga ditujukan kepada Muhammad Ibn Syihab Al Zuhri yang beliau anggap sebagai orang yang banyak mengetahui tentang hadits Nabi. Beliau adalah guru Malik, Al-Auza’I, Ma’mar, Al-Laits, Ibn Ishaq dan Ibn Abi Dzi’bin. Mereka inilah yang membukukan hadits atas anjuran khalifah. Kitab Hadits yang ditulis oleh Ibn Hazm merupakan kitab hadits pertama yang ditulis atas perintah kepala negara, tidak sampai kepada kita. Pembukuan seluruh Hadits yang berada di Madinah dilakukan oleh Imam Muhammad Ibn Muslim Ibn Syihab Az-Zuhri
Dari sudut analisa politik, tindakan ‘Umar II ini adalah untuk menemukan dan mengukuhkan landasan pembenaran bagi ideologi Jama’ah-nya, yang dengan ideologi itu ia ingin merangkul seluruh kaum Muslim tanpa memandang aliran politik atau pemahaman keagamaan mereka, termasuk kaum Syi’ah dan Khawarij yang merupakan kaum oposan terhadap rezim Umayyah. ‘Umar II melihat bahwa sikap yang serba akomodatif pada semua kaum muslim tanpa memandang aliran politik atau paham keagamaan khasnya itu telah diberikan contohnya oleh penduduk Madinah, di bawah ke kepeloporan tokoh-tokohnya seperti ‘Abdullah ibn ‘Umar (Ibn al-Khaththab), ‘Abdullah Ibn ‘Abbas dan ‘Abdullah Ibn Mas’ud.
Mushthafa al-Siba’i dalam majalah Al-Muslimin seperti yang dikutip Nurcholis Madjid amat menghargai kebijakan ‘Umar II berkenaan dengan pembukaan sunnah itu, sekalipun ia menyesalkan sikap Khalifah yang baginya terlalu banyak memberi angin pada kaum Syi’ah dan Khawarij (karena, dalam pandangan al-Siba’i, golongan oposisi itu kemudian mampu memobilisasi diri sehingga, dalam kolaborasinya dengan kaum Abbasi, mereka akhirnya mampu meruntuhkan Dinasti Umayyah dan melaksanakan pembalasan dendam yang sangat kejam). Dan menurut al-Siba’i, sebelum masa‘Umar II pun sebetulnya sudah ada usaha – usaha pribadi untuk mencatat hadits, sebagaimana dilakukan oleh ‘Abd Allah Ibn ‘Amr Ibn al -’Ash.

2.    Kodifikasi Hadits Abad II H
Masa ini disebut juga masa penyempurnaan. Pada masa ini, terdapat banyak perbedaan bila dibanding masa sebelumnya. Ilmu Hadits pada abad ini sudah mulai digunakan dengan maksimal, sekalipun dalam batas persyaratan lisan dan belum terbukukan secara sempurna.[1] Masa ini juga disebut masa pengkodifikasian Hadits (al-jam’u wa at-tadwin).[2]
Selain itu, kondisi masyarakat juga mengalami perubahan, khususnya yang terkait dengan periwayatan Hadits. Perubahan itu nampak dalam beberapa hal sebagai berikut.
a.    Bila zaman Sahabat hafalan masih relatif kuat, pada masa ini kekuatan hafalan sudah mulai memudar. Hal itu disebabkan oleh banyaknya perawi Hadits dari kalangan Sahabat yang berhijrah keluar jazirah Arabiyah dan menetap di luar hingga kawin dan berketurunan di sana. Masyarakat di luar jazirah tidak memiliki tradisi menghafal layaknya masyarakat Arab. Lambat laun generasi yang muncul tidak mampu memaksimalkan daya hafalnya. Selain itu, kemampuan menulis sudah mereka miliki, sehingga oleh sebagian masyarakat menulis dirasa “lebih praktis” daripada menghafal.
b.    Sanad Hadits mulai memanjang dan bercabang. Hal itu disebabkan juga oleh terpencarnya para perawi Hadits ke daerah-daerah yang berjauhan, sehingga untuk mendapatkan sebuah Hadits harus melalui periwayatan beberapa perawi yang sekali lagi hal ini menyebabkan sanad menjadi panjang yang pada gilirannya berdampak pada kualitas Hadits.
c.    Banyak sekte bermunculan. Bermunculannya banyak sekte dan aliran yang menyimpan dari jalur yang dianut oleh para Sahabat berdampak pada keotentikan Hadits. Munculnya Hadits-hasits palsu sebagianny juga disebabkan oleh faktor Aini. Ada sekte khawarij, mu’tazilah, jabariyah dan lain sebagainya.[3]
Sebagian besar ahli hadits  berpedapat bahwa perintah resmi untuk menuliskan hadits  muncul pada masa Umar bin Abdul Azis (w. 720 M) yang menjadi khalifah pada masa Bani Ummayah (717-720 M). Tetapi dalam kitab Tabaqat Ibn Sa’d, Tahzib at-Tahzib dan Tazkirat al-Huffaz disebutkan bahwa pengumplan hadits  sudah dimulai terlebih dahulu oleh ayah Umar bin Abdul Azizi yaitu Abdul Aziz bin Marwan bin Hakkam (w 704 M), yang menjabat Gubernur di Mesir. Yang memerintahkan kepada Kasir bin Murrah al-Hadrami (w. 688 M) untuk mengumpulkan hadits  Rasul saw. Ini berarti bahwa Umar bin Abdul Aziz meneruskan usaha bapaknya yang berkuasa di Mesir tahun 684–704 M. Namun data kongkrit hasil karya ulama yang diperintahkan ayah Umar bin Adul Aziz tidak sampai ke kita.
Pembukuan hadits  pada periode ini belum disusun secara sistematis dan tidak berdasarkan pada urutan bab-bab pembahasan ilmu. Upaya pembukuan hadits  setelah Az-Zuhri dilakukan secara berbeda-beda yang masih mencampurkan perkataan sahabat dan fatwa tabi’in. Ada seorang ulama’ yang berhasil menyusun kitab tadwin, yang sampai kepada kita sekarang, yaitu Malik bin Anas (93-179 H) di Madinah, dengan kitabnya Al-Muwaththa’. Kitab tersebut disusun tahun 143 H atas permintaan Khalifah Al-Mansur.
Yang kemudian diikuti oleh ulama’-ulama’ seperti Muhammad bin Ishaq (w 151 H), Ibnu Abi Zi’bin (80-158 H) di Madinah. Ibnu Juraij (80-150 H) di Makkah; Al-Rabi’ Ibn Sabih (w 160 H), Hammad Ibnu Salamah (w 176 H) di Basrah. Syufyan At-Tsaury (79-161 H) di Kuffah ; Al-Auza’I (88-157 H) di Syam; Ma’mar bin Rasyid (93-153 H) di Yamman ; Ibn al-Mubarrak 118-181 H) di Khurasan dan Jarir bin Abd Al-Hamid (110-188 H).
Akan tetapi penulisan penulisan hadits pada zaman tabi’in ini masih bercampur antara sabda Rasul saw, fatwa sahabat serta tabi’in. Seperti di dalam kumpulan hadits  al-Muwatta’ karya Malik bin Anas , kitab ini tidak hanya memuat hadits  Rasul saw saja tetapi juga memuat ucapan sahabat atau tabi’in bahkan tidak sedikit yang berupa pendapat Malik sendiri  atau praktek ulama’ dan masyarakat Madinah. Akan tetapi Asy Syafi’i memberi pujian kepada Malik bin Anas “kitab shahih setelah Al-Qur’an ialah Al Muwwata’.
3.    Ciri – ciri Pentadwinan tadwin hadits pada abad ke 2 H
Ada beberapa hal yamg menjadi ciri – ciri proses pengkodifikasian hadits yang ditulis pada periode ini :
a)        Umumnya menghimpun dari hadits Rasul SAW serta fatwa sahabat dan tabi’in.
b)        Himpunan Hadits masih bercampur aduk antara beberapa topikyang ada
c)        Belum dijumpai upaya pengklasifikasian antara hadits shahih, hadits hasan dan hadits Dhaif.
4.    Kitab – kitab hadits Abad Ke 2 H
Setelah itu penulisan hadits pun marak dan dilakukan oleh banyak ulama abad ke-2 H, yang terkenal diantaranya :
a)        Al – Muwaththa oleh Imam Malik Anas ( 93 – 179 H ). Selama rentang waktu ini,sejumlah buku hadîts telah disusunnya. Kitab ini memiliki kedudukan tersendiri pada periode ini.Buku ini ditulis antara tahun 130H ampai 141H. Buku ini memiliki kurang lebih 1.720 hadits ,dimana :
•     600 hadîtsnya marfu’ (terangkat sampai kepada Nabi SAW ).
•     222 hadîtsnya mursal (adanya perawi sahabat yang digugurkan).
•     617 hadîtsnya mauquf (terhenti ampai kepada tâbi ’în).
•     275 sisanya adalah ucapan tâbi ’in.
b)        Al-Musnad oleh Imam Abu Hanifah an-Nu’man (wafat 150 H).
c)        Al-Musnad oleh Muhammad bin Idris asy-Syafi’I (150 – 204 H).
d)       Mukhtaliful Hadits oleh Muh, bin Idris asy-Syafi’I (150 – 204 H).
e)        Al-Musnad oleh Imam Ali Ridha al-Katsin (148 – 203).
f)         Al-Jami’ oleh Abdulrazaq al-Hamam ash Shan’ani (wafat 311 H ).
g)        Mushannaf oleh Imam Syu’bah bin Jajaj ( 80 – 180 H ).
h)        Mushannaf oleh Imam Laits bin Sa’ud (94 – 175 H).
i)          Mushannaf oleh Imam Sufyan bin ‘Uyaina (107 – 190 H ).
j)          As-Sunnah oleh Imam Abdurrahman bin ‘Amr al-Auza’i ( wafat 157 H ).
k)        As-Sunnah oleh Imam Abd bin Zubair bin Isa al-Asadi.
Seluruh kitab-kitab hadits yang ada pada abad ini tidak sampai kepada kita kecuali 5 buah saja yaitu nomor 1 sampai dengan 5.

No comments:

Post a Comment